Johnny vs Amber

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Johnny vs Amber
Johnny Depp. Foto: Reuters

Akan tetapi, argumen feminis semacam itu tidak sepenuhnya benar. Beberapa waktu belakangan ini di media sosial banyak sekali kasus-kasus rumah tangga yang diungkap dan kemudian menjadi viral. 

Salah satunya adalah kisah ‘’Layangan Putus’’ mengenai perselingkuhan dalam rumah tangga. Cerita ini diikuti dengan antusias oleh ribuan orang dan kemudian diangkat menjadi cerita sinetron yang banyak digemari orang.

Isu kekerasan dalam rumah tangga sudah lama menjadi isu politik.

Setelah terbengkalai beberapa tahun, DPR mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada perempuan dari kekerasan seksual.

UU ini dianggap sebagai kemenangan oleh para aktivis perempuan dan feminisme. 

Namun, Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) menolak undang-undang ini karena dianggap tidak cukup komprehensif dalam menghadapi kasus-kasus seksual. 

PKS melihat undang-undang ini tidak memasukkan tindak pidana kesusilaan secara komprehensif yang meliputi, kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan dalam seksual.

Menurut PKS, hal ini merupakan esensi penting dalam pencegahan dan perlindungan korban dari kekerasan seksual.

Kisah Johnny vs Amber menunjukkan rapuhnya institusi rumah tangga di Barat. Rumah tangga mereka penuh cerita mengenai kekerasan di antara kedua pihak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News