Jokowi Can Do No Wrong

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jokowi Can Do No Wrong
Dokumentasi - Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Foto: Ricardo/JPNN.com

SBY mengatakan bahwa ia melakukan cawe-cawe secara aktif tetapi terbatas pada kewenangannya. Ia mengumpulkan para pemimpin KPK dan Polri dan betindak sebagai mediator untuk mencapai titik temu. Kesepakatan kedua belah pihak dicapai tanpa ada intervensi dari SBY. Inilah yang disebut oleh SBY sebagai cawe-cawe positif, atau positive intervention.

SBY menyorot informasi bahwa Jokowi hanya menghendaki dua pasang kandidat dan tidak menghendaki Anies Baswedan maju sebagai capres, karena Jokowi tidak suka kepada Anies. Menurut SBY, suka atau tidak suka kepada kandidat tertentu adalah preferensi setiap orang yang harus dihormati. Tetapi hal itu tidak boleh menjadi justifikasi untuk menghalangi seseorang maju menjadi kandidat presiden.

Terhadap sikap Jokowi yang hanya memberi endorsement kepada dua kandidat pilihannya, SBY mengingatkan bahwa hal itu menjadi hak politik Jokowi. Ia boleh saja melakukan kerja politik untuk mendukung kandidat jagoannya. Yang tidak boleh adalah, kalau Jokowi memakai alat-alat negara seperti Polri, KPK, intelijen, BUMN, untuk menyukseskan jagoannya. (halaman 19).

Pada poin kelima, SBY menyoroti kabar bahwa Jokowi akan menjadi penenetu akhir siapa capres dan cawapres yang diajukan oleh partai-partai koalisi. SBY dengan keras mengritik para pimpinan parpol yang tidak punya kedaulatan dalam menentukan kandidat presiden dan wakilnya.

SBY juga menyoroti mengenai para pemimpin parpol yang tidak bisa menjalankan kedaulatan partai karena tersandera oleh kasus-kasus hukum yang menjeratnya. Inilah yang oleh SBY disorot sebagai penggunaan kekuatan negara yang akan mengarah pada penyelewengan kekuasaan atau abuse of power.

Dalam standar komunikasi politik SBY, buku ini termasuk keras dalam menyerang Jokowi. Pemakaian judul "The President Can Do No Wrong" adalah sindiran tajam.

SBY mengungkapkan bahwa adagium itu seharusnya diterjemahkan bahwa presiden jangan sampai berbuat salah dan melanggar undang-undang. Tetapi, secara implisit SBY menyamakan Jokowi dengan "the king" alias raja.

Ungkapan itu terkenal di Inggris dan Eropa yang ketika itu masih menganut sistem monarki. Kekuasaan raja yang mutlak menjadikannya sebagai penguasa mutlak. Apa yang diucapkan raja menjadi hukum.

Buku SBY ini menjadi peringatan keras kepada Jokowi. Kita tunggu respons Jokowi terhadap warning ini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News