Jokowi dan Tanah Abang

Jokowi dan Tanah Abang
Jokowi dan Tanah Abang

jpnn.com - MENDEKATI Lebaran atau Idul Fitri serta bulan puasa yang datang itu dibangun dalam sebuah intensitas, dan Jakarta menjadi tempat yang semakin sulit untuk dikelola. Pedagang tumpah ruah ke jalanan, pemblokiran jalan dimana-mana, sementara penumpang dan pejalan kaki resah dan menggerutu.

Pada saat-saat seperti ini campur tangan langsung dari pemimpin menjadi semakin penting. Jakarta –dan hampir semua kota – membutuhkan seseorang yang bersedia untuk melangkah maju dan berkata “sudah cukup”.

Dalam pengertian ini, masalah relokasi Pasar Tanah Abang menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.  

Baca Juga:

Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat adalah tempat ikonik di ibukota. Terkenal dengan tekstilnya, pasar ini sudah ada di daerah tersebut sejak 1700an. Memang, Jalan KH Mas Mansyur merupakan salah satu jalur vital Jakarta yang menghubungkan utara dan selatan kota, serta lembaga keuangan negara, Bank Indonesia berlokasi.  

Pasar dan daerah sekelilingnya telah menjadi magnet bagi para pedagang asongan — khususnya selama Ramadan. Sebagaimana lazimnya keluarga-keluarga Muslim yang membeli pakaian baru dan kue-kue untuk Lebaran. Kemacetan lalu lintas kota yang bertambah parah seakan-akan seperti “Segitiga Bermuda”— tempat dimana waktu tampaknya berhenti. Ini semacam masalah yang akan pasti menyandung seorang kepala daerah yang kurang mumpuni dalam menawarkan solusi.

Sebagian besar para PKL ini berlatar belakang kurang mampu, banyak yang berdagang tidak tetap dengan harapan mendapatkan uang tambahan untuk Lebaran. Membujuk mereka untuk mengubah modus yang sudah dijalani bertahun-tahun tentu membutuhkan kebijaksanaan dan visi. Disamping PKL, terdapat kelompok-kelompok yang berkepentingan dari lokal, atau preman, hingga ke berbagai bisnis yang memang memiliki otoritas sendiri.

Baca Juga:

Jokowi, dihadapkan dengan tantangan yang sama ketika ia menjabat sebagai walikota Solo, Jawa Tengah. Pada bulan Desember 2005, ia meyakinkan kelompok PKL di Taman Banjarsari Solo untuk pindah ke pasar baru di Kithilan Semanggi.

Jokowi mampu melakukan ini — seperti yang Rushda Majeed tulis dalam studi kasus bulan Juli 2012 untuk program Princeton University’s Innovations for Successful Societies — dengan menyelenggarakan 50 kali pertemuan makan siang dengan PKL. Ini bukan hanya urusan satu belah pihak saja, sebagai walikota yang mendengar tuntutan PKL, Jokowi mengumpulkan data dan melakukan tawar-menawar yang alot. Ini adalah bentuk dari gaya kepemimpinan “blusukan” nya yang  sekarang populer di Jakarta.

MENDEKATI Lebaran atau Idul Fitri serta bulan puasa yang datang itu dibangun dalam sebuah intensitas, dan Jakarta menjadi tempat yang semakin sulit

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News