Jokowi Dianggap tak Konsisten Soal Politik Bebas Aktif

Jokowi Dianggap tak Konsisten Soal Politik Bebas Aktif
Jokowi Dianggap tak Konsisten Soal Politik Bebas Aktif

jpnn.com - JAKARTA - Guru Besar Hubungan Internasional dari President University, Prof AA Banyu Perwita mengatakan ada hal yang kontradiktif atas sikap Jokowi menanggapi konflik di Laut Cina Selatan pada debat calon presiden, Minggu (22/6) malam. Di sisi lain ingin menerapkan politik luar negeri bebas aktif, namun tidak ingin terlibat pada konflik perbatasan yang melibatkan enam negara.

"Kalau memang Jokowi menganut prinsip politik luar negeri bebas aktif seperti tertulis di visi misinya, harusnya dia mendukung Indonesia  memfasilitasi konflik yang terjadi di antara enam negara yang bertikai di laut China Selatan agar mereka jangan sampai berperang, “ kata Perwita yang dihubungi wartawan, Selasa (24/6).   

Menurutnya, jika Jokowi konsisten dengan politik bebas aktif, harusnya dia mendukung apa yang dilakukan oleh pemerintahan SBY terhadap wilayah itu.“Selama hampir setahun ini, Indonesia dibawah Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sudah menfasilitasi perundingan. Indonesia berinisiatif menyusun ‘Code of Conduct (CoC) Laut Tiongkok Selatan’ untuk enam negara yang bertikai,“ kata Perwita yang juga aktif dalam beberapa pertemuan soal  itu.     

Sebelum menyusun CoC, Kemenlu mencari bahan dari beberapa pakar hubungan internasional soal Laut China Selatan termasuk dirinya.  “Tiga kali pihak Kemenlu Indonesia menerima masukan kami soal  itu,” kata Perwita.   Saat ini ‘CoC Laut Tongkok Selatan’  hampir rampung dan salah satu opsinya adalah larangan  ikut campur bagi militer seluruh negara yang bertikai. “Jadi jika Indonesia memang bebas aktif, maka Jokowi harus meneruskan peran SBY dengan Marty Natalegawa dalam konflik Laut China Selatan, ” kata Perwita.

Perwita mengatakan konflik yang dimulai sejak 1970 ini melibatkan enam negara yaitu Vietnam, Philipina, Malaysia, Brunei Darussalam, China dan Taiwan. Awalnya, konflik ini adalah klaim kepemilikan atas pulau-pulau di kepulauan Spratly yang melibatkan Malaysia, Brunei, Taiwan, Filipina, Vietnam dan China. Kemudian muncul masalah klaim kepemilikan atas Kepulauan Paracel yang melibatkan Vietnam dan China yang akhirnya mereka saling klaim perairan karena tumpang tindihnya batas ZEE.     

Pertikaian antarnegara ini karena diduga adanya cadangan minyak bumi dan gas milyaran barrel dan bisa diexplor selama 25-30 tahun. “Ini yang membuat mereka saling ngotot untuk mempertahankan batas negaranya. Apalagi Vietnam dan Filipina melawan China, “ kata Perwita. (jpnn)


JAKARTA - Guru Besar Hubungan Internasional dari President University, Prof AA Banyu Perwita mengatakan ada hal yang kontradiktif atas sikap Jokowi


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News