Jokowi, Prabowo dan Media
jpnn.com - DUNIA secara keseluruhan, demikian Cavallaro (2004) menuliskan, dapat dipahami secara metaforis sebagai sebuah teks. Bukan teks yang linear dan naratif, bukan pula teks dengan alur yang transparan, melainkan sebuah carut-marut cerita di mana satu aliran putaran yang konstan kembali pada dirinya sendiri.
Dengan demikian benar adanya bahwa membaca adalah tugas menafsirkan teks yang carut marut tersebut sesuai dengan frame of reference (kerangka berpikir) dan field of experience (cakupan pengalaman) kita. Pada akhirnya, parameter keberhasilan pembacaan itu bukan pada benar-salah dalam menafsirkan teks, melainkan bagaimana hasil menafsir tersebut dapat menjadi teks bagi pihak lain untuk ditafsirkan kembali.
Percayalah, para calon presiden yang mendeklarasikan diri mereka sebagai pemenang pemilu versi hitung cepat (quick count) tidak menyadari bahwa mereka telah didorong oleh kekuatan media (massa) untuk menjadi seperti sekarang ini. Lebih jauh lagi, bisa jadi media telah mengkreasi sebuah skenario besar untuk menjadikan seseorang sebagai pemenang atau pecundang, termasuk dalam kontestasi pemilu presiden kali ini.
Joko Widodo atau Prabowo Subianto, bagi media adalah sekadar komoditas informasi karena mereka berdua adalah calon presiden yang bertarung secara head to head pada pemilu presiden kali ini.
Hasil hitung cepat pemilu presiden 9 Juli menghadirkan sejumlah fenomena politik baru di tanah air. Pertama, kredibilitas kinerja lembaga survei dipersoalkan karena ada sejumlah lembaga survei yang melakukan quick count dengan menempatkan pasangan nomor urut 2, Joko Widodo-Jusuf Kalla memperoleh persentase suara terbanyak. Di sisi lain juga ada lembaga survei yang justru memenangkan pasangan nomor urut satu yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Kedua, hasil hitung cepat yang secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan validitas dan akurasinya –dan semula dimaksudkan untuk mengontrol munculnya tindak kecurangan praktik pemilihan umum seperti pilpres ini- justru menjadi klaim politik secara positif maupun negatif. Kalau kemudian masing-masing pasangan capres-cawapres mendeklarasikan dirinya sebagai pemenang pemilu presiden versi hitung cepat, maka saat ini kita memiliki dua presiden terpilih versi hitung cepat.
Ketiga, sampai di sini banyak pihak berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertindak dan bersikap independen dan profesional untuk memastikan suara rakyat yang akan diumumkan pada 22 Juli mendatang tidak dicurangi oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat.
Keniscayaan Media
Dari media massa kita mengetahui bagaimana reaksi dan respon Jokowi maupun Prabowo menanggapi hasil hitung cepat yang beragam tersebut. Membicarakan hasil survei dan hasil hitung cepat sejumlah lembaga berarti membicarakan praktik komunikasi politik bermedia. Mendiskusikan praktik (komunikasi) politik di Indonesia dewasa ini berarti membicarakan (secara langsung) bagaimana media menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses politik yang diharapkan akan semakin demokratis. Sementara mengkaji media (komunikasi) massa di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari persoalan-persoalan demokrasi dan politik yang mengiringinya.
DUNIA secara keseluruhan, demikian Cavallaro (2004) menuliskan, dapat dipahami secara metaforis sebagai sebuah teks. Bukan teks yang linear dan naratif,
- Migrants Day 2024, Menakar Urgensi Pendidikan Tinggi bagi Pekerja Migran Indonesia
- Sidang Adat di Balai Panjang Tanah Periuk Jambi Selalu Terjaga hingga Kini
- Catatan Politik Senayan: Penegakan Hukum yang Tidak Melecehkan Rasa Keadilan
- Bantu Rakyat ala Helmi Hasan
- Mengurai Solusi Kekerasan Seksual Anak
- Brengkes Ikan, Cara Perempuan Menyangga Kebudayaan