Jujurlah Pada Papua
Sabtu, 18 Mei 2013 – 17:07 WIB
Apa ini berarti karena pemerintah terlalu sering melakukan pembiaran pada masalah Papua?
Jangan pakai kata pembiaran. Tapi pendekatannya yang kurang tepat. Contoh untuk masalah pendidikan dan kesehatan. Dari undang-undang dan anggarannya untuk Papua sudah ada. Tapi kan ada yang harus mengimplementasikan. Yang melakukan siapa? Apakah mereka melaksanakannya dengan baik? Uang dipakai betul atau tidak? Itu kan bukan masalah pembiaran, tapi SDM-nya yang tidak melakukannya, otoritas juga tidak bekerja, campur aduk antara politik dan pembangunan. Itulah masalahnya. Bukan pembiaran. Di Papua susaha clear, kalau ngomong pembangunan dipolitisasi, ngomong politik, susah pembangunan. Jadi kacau.
Papua ini perlu pendekatan simultan tapi juga mengggunakan bahasa yang konstruktif, tidak provokatif dan stigmatisasi. Misalnya kalau pemerintah ada kelemahan dalam implementasi, sebutkan itu. Tapi jangan dengan kata pembiaran. Itu membuat warga Papua merasa terbuang. Misalnya orang Papua tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, jangan disebut separatis. Bilang saja mereka tidak setuju. Kalau terus distigma seperti itu mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
Papua itu cantik, untuk pengembangan pariwisata itu bagus. Tapi, orang takut ke Papua, karena selalu dibilang ada separatis di sana. Itu stigmatisasi yang membuat Papua tidak bisa berkembang. Menurut saya Jakarta dan Papua perlu menggunakan bahasa konstruktif, jangan stigmatisasi.