Jumat Macet di Hisbullah
Oleh Dahlan Iskan
Di Lebanon ini khotbahnya panjang sekali. Hampir 45 menit. Tanpa henti. Tidak ada khotbah pertama atau kedua. Sesekali jamaah melantunkan selawat nabi. Serentak. Di sela-sela khotbah. Di setiap ujung kalimat yang menarik.
Khotbah selesai. Terdengar suara azan. Yang diselipi syahadat ketiga: bahwa Ali itu wali Allah. Yang diselipkan setelah dua syahadat. Lalu iqamat.
Salat dimulai. Saya tidak mau berbeda sendiri. Saya keluarkan juga turbah. Dari kantong saya.
Bentuknya seperti kue bakpia. Yang terbuat dari tanah. Yang diambil dari Karbala. Irak Selatan. Tempat dibunuhnya Sayidina Husein. Salah satu dari 12 imam Syiah.
Turbah itu saya ambil dari tempatnya. Di dekat pintu masuk masjid. Banyak tersedia di situ. Saya ambil satu.
Saya taruh turbah itu di atas sajadah. Di posisi dahi saya nanti. Saat saya sujud nanti. Semua jemaah melakukan seperti itu.
Turbah itu terbawa ke hotel. Akan saya bawa pulang. Turbah lama saya hilang. Atau diminta orang. Yang saya ambil dari masjid di Kota Qom dulu. Di pusatnya Syiah. Di Iran.
Saya ikut saja. Bagaimana gerakan salat kanan-kiri saya. Termasuk tidak sedakep tangan di dada. Bacaan rukuk dan sujud pun ikut imam. Toh suara imam cukup keras. Di saat rukuk dan sujud sekali pun.