Juru Dengar Jokowi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Juru Dengar Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Foto: arsip JPNN.com/Ricardo

Presiden juga jangan sampai mengandalkan informasi dari buzzer-buzzer bayaran yang hanya suka mengumbar puja-puji.

Juru dengar penting dipunyai presiden untuk mendengarkan suara rakyat yang sekarang ini semakin lirih terdengar. Fadjroel Rachman boleh saja mengeklaim bahwa demokrasi berjalan baik, sebuah klaim yang sangat ABS.

Faktanya sekarang indeks demokrasi Indonesia melorot menjadi ‘’partly free’’ yang berarti tidak sepenuhnya bebas.

Terlepas dari retorika Fadjroel yang mengatakan presiden tidak anti-kritik, tetapi dalam praktiknya saluran-saluran kritik sudah banyak yang tersumbat. Di parlemen suara kritis nyaris tak terdengar karena oposisi sekarang menjadi minoritas. Oposisi non-formal pun tidak bisa berkutik karena tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjarakan.

Rakyat jelata yang coba-coba menyuarakan aspirasinya pun takut kena jeratan UU ITE yang bisa melar ke mana-mana. Mahasiswa yang selama ini menjadi inspirasi suara kritis juga dibungkam sejak dari kampusnya.

Jokowi lebih butuh juru dengar daripada juru bicara. Secara alamiah manusia dikaruniai dua telinga dan satu lidah. Itu artinya manusia harus mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara.

Seorang pemimpin harus dua kali lebih banyak mendengar aspirasi rakyat daripada mengobral janji kepada rakyat.

Lidah tidak bertulang dan tidak bercabang. Kalau lidah bercabang berarti sama dengan lidah kadal, biawak, dan ular. Banyak bicara menyanjung-nyanjung presiden dan menjilat-jilat setiap saat. Itulah yang banyak terjadi di sekeliling presiden.

Yang ada di sekitar Jokowi sekarang lebih banyak para juru bayar yang bertindak sebagai bandar politik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News