Kada tak Bisa Lagi Seenaknya Lakukan Mutasi
jpnn.com - JAKARTA - Gejala kelakuan kepala daerah yang melakukan mutasi pejabat seenaknya, hampir merata di seluruh daerah di Indonesia.
Mutasi berbau politik biasa dilakukan oleh kepala daerah yang baru menjabat, tidak selang lama setelah pelaksanaan pilkada.
Asisten Deputi Inovasi dan Sistem Informasi Pelayanan Publik KemenPAN-RB Muhammad Imanuddin, mengakui, memang bukan hal yang gampang mengakhiri fenomena tersebut.
Alasannya, saat ini UU Kepegawaian sulit memberikan sanksi kepada kepala daerah karena mereka adalah pejabat politik. Bukan hal ang gampang membatalkan keputusan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian.
"Memang memprihatinkan, UU Kepegawaian kita belum mampu memproteksi , karena bupati atau walikota selaku Pejabat Pembina Kepegawaian memiliki kewenangan dalam mengangkat dan memberhentikan pejabat atau PNS. Untuk itu perlu perubahan yang mengatur masalah ini," beber Imanuddin di Jakarta, kemarin (18/9).
Saat ini, lanjut mantan Karo Hukum dan Humas KemenPAN-RB itu, pemerintah bersama DPR sedang membahas tentang RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) dan RUU Administrasi Pemerintahan (Adpem).
"Bila dua peraturan itu sudah diundangkan, hal hal semacam itu akan bisa diatasi. Karena di dalam konsep RUU ASN antara lain mengatur adanya Komisi ASN yang bisa membatalkan keputusan yang merugikan para birokrat," pungkasnya. (sam/esy/jpnn)
JAKARTA - Gejala kelakuan kepala daerah yang melakukan mutasi pejabat seenaknya, hampir merata di seluruh daerah di Indonesia. Mutasi berbau politik
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Arogansi Ivan Pengusaha yang Suruh Siswa Menggonggong Berujung Bui, Ini Pelajaran!
- BPJS Ketenagakerjaan Perkuat Integritas untuk Hadapi Kecurangan & Penyimpangan
- BPJS Ketenagakerjaan Perkuat Integritas dan Pengelolaan Risiko Demi Cegah Kecurangan
- Pengusaha yang Suruh Siswa Menggonggong Punya Kedekatan dengan Aparat? Kombes Dirmanto: Jangan Digiring
- 59 Menteri & Wamen Kabinet Merah Putih Sudah Lapor LHKPN
- Menyerang Brimob, Jaksa Agung Sedang Cuci Tangan di Kasus Timah dan Tom Lembong?