Kaji Ulang Kenaikan Tarif Listrik
Pengusaha Anggap Memberatkan
jpnn.com - SURABAYA - Kalangan pengusaha meminta agar kebijakan kenaikan tarif listrik dikaji. Sebab, hal itu dirasa tidak sesuai dengan kondisi ekonomi. Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko menyatakan, kinerja industri, khususnya alas kaki, tahun ini tidak menggembirakan.
Kondisi itu terlihat dari penjualan pada peak season Lebaran lalu yang tidak mencapai target. Bahkan, pendapatan tahun ini diperkirakan menurun.
"Kami mengajukan agar kebijakan kenaikan tarif dasar listrik tersebut ditunda, setidaknya hingga kondisi ekonomi stabil. Sejauh ini yang kami rasakan kondisi ekonomi sedang tidak baik," kata Eddy kemarin (5/8).
Contoh paling dekat ketika Lebaran lalu. Dia menjelaskan, industri alas kaki gagal memanfaatkan peak season tersebut. Sebab, momen yang seharusnya bisa mendongkrak penjualan tahunan itu ternyata malah menyisakan stok di toko dalam jumlah besar.
"Artinya, banyak yang tidak laku terjual. Baik diskon sampai banderol dengan harga murah tidak menaikkan daya beli masyarakat," jelas Eddy.
Hasilnya, penjualan alas kaki pada Lebaran lalu hanya tercapai 50-60 persen dari target. Padahal, dalam kondisi normal, kontribusi penjualan Lebaran semestinya bisa mencapai 30-40 persen selama setahun.
"Nah, kalau kondisi sudah susah, kemudian dibarengi dengan kenaikan tarif listrik, tentu itu kian menekan industri sepatu. Apalagi dengan kondisi penjualan yang tidak menggembirakan, tentu tidak gampang memutuskan menaikkan harga jual produk," paparnya.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Jatim Nur Cahyudi menuturkan, kebijakan kenaikan tarif listrik yang bertahap menyulitkan pengusaha untuk memprediksi. Tidak hanya bertahap, persentase kenaikannya pun dinilai terlalu tinggi.
"Berdasar perhitungannya, kenaikan tarif listrik mencapai 38,5 persen. Tetapi, kalau diakumulasi, persentase kenaikan tentu semestinya di atas itu. Seharusnya, kenaikan ini memiliki landasan yang jelas. Kami ingin kenaikan listrik mengacu pada inflasi. Sebab, beban kami tidak hanya listrik, pembatasan solar pun berpengaruh," jelasnya.
Lantaran bertahap, pihaknya belum bisa memastikan persentase kenaikan harga jual produk pasca kenaikan tarif listrik September nanti. Sebab, di dalamnya melibatkan banyak komponen. Misalnya, dari industri pendukung seperti cat sampai karton untuk packaging.
Sementara itu, selama ini kontribusi listrik terhadap biaya produksi sekitar 5-10 persen. "Kami masih melakukan penghitungan. Tetapi yang jelas, industri diuntungkan dengan adanya buffer stock, baik raw material maupun supporting industry. Setidaknya stok tersedia untuk tiga bulan. Setelah itu baru kalkulasi harga yang baru," ungkap Nur. (res/c15/agm)
SURABAYA - Kalangan pengusaha meminta agar kebijakan kenaikan tarif listrik dikaji. Sebab, hal itu dirasa tidak sesuai dengan kondisi ekonomi. Ketua
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Top, BNI Xpora Bantu UKM Kopi Indonesia Tembus Pasar Dunia
- Oraimo Buka Toko Flagship Pertamanya di Indonesia
- Gelar RUPSLB, Modernland Realty Siap Tancap Gas
- Mantap! UMKM Asal Bekasi Sukses Ekspor Jengkol dan Komoditas Lainnya ke Jepang
- Local Hero MIND ID jadi Penggerak Ekonomi Hijau di Cisangku
- IMF Sebut Indonesia Berhasil Lakukan Transformasi Ekonomi