Kalau Ibu Kota Pindah, Jakarta jadi Apa?
jpnn.com, JAKARTA - Pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan memerlukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Subagyo mengaku masih menunggu rancangan yang disiapkan pemerintah terkait ide pindah ibu kota tersebut. Termasuk status Jakarta ke depan.
Politikus Golkar itu mengatakan, landasan hukum pindah ibu kota bisa cukup dengan merevisi UU yang ada agar prosesnya lebih cepat, atau membuat UU baru. Proses legislasi ini bisa menjadii usulan pemerintah atau juga DPR.
"Nanti tergantung, kalau revisi itu bisa dijadikan dasar hukum, cukup direvisi supaya prosesnya lebih cepat. Kalau revisi tidak memenuhi, maka perlu UU baru. Nanti kan semuanya harus melalui mekanisme prolegnas," ucap Firman dikonfirmasi JPNN.com, Jumat (9/8).
BACA JUGA: Mardani PKS Ingin Proyek Pemindahan Ibu Kota jadi Proyek Bersama
Pihaknya menyebutkan, kalau pemindahan ibu kota ditargetkan tuntas dalam lima tahun, maka RUU-nya harus segera diusulkan. Soal revisi atau membuat UU baru, itu bisa didiskusikan bersama.
Pindah ibu kota dan revisi terhadap UU DKI Jakarta, menimbulkan konsekuensi terhadap kota yang dahulunya dikenal dengan beberapa nama; Sunda Kelapa, Jayakarta dan Batavia. Lantas apa status Jakarta setelah tidak menjadi DKI?
Menurut Firman, pemerintah pasti sudah membuat perencanaan yang matang dengan memindahkan DKI ke Kalimantan. Soal namanya bisa saja menjadi kota metropolitan atau nama lain.
Jika pemindahan ibu kota ditargetkan tuntas dalam lima tahun, maka rancangan undang-undangnya harus segera diusulkan.
- PAM Jaya Naikkan Tarif Air 2025, Pelanggan Ini Tak Akan Terkena
- Tinjau Gereja, Pj Gubernur Jakarta Pastikan Natal Berjalan Lancar
- PAM Jaya Pasang Pompa Alkon, Masyarakat Bilang Begini soal Dampaknya
- Letjen TNI (Purn) Sumardi Melantik DPD Pejuang Bravo Lima Daerah Khusus Jakarta
- Setelah 38 Tahun, Warga Kebon Kosong Jakarta Pusat Dapat Nikmati Layanan Air PAM
- 34 Persen Pelajar SMA di Jakarta Terindikasi Gangguan Mental Emosional