Kaliandra setelah Tumpengan di Komisi VI
Untuk permulaan, SDI-lah yang akan menanam. Tapi, kelak rakyat setempat yang menanam untuk menambah penghasilan. Rakyat yang mengeluarkan uang untuk membayar listrik akan mendapat uang dari penjualan bahan baku listrik.
Singkatnya: SDI menjual listrik kepada rakyat. Rakyat menjual kaliandra ke SDI. Beda dengan yang berlaku sekarang: Rakyat membayar listrik, uangnya dipakai untuk membeli bahan baku dari negara lain atau perusahaan batu bara. Perusahaan batu bara mendapat batu bara dari negara. Negara dapat kekuasaan dari rakyat.
Pertanyaannya: Mengapa saya tidak membuat program kaliandra saat jadi Dirut PLN atau menjabat menteri BUMN?
Jawabannya agak memalukan: Saya baru tahu tentang pohon kaliandra ini enam bulan lalu. Kian saya pelajari, kian menarik. Tapi, waktu juga kian mepet. Tinggal setengah bulan lagi menjabat menteri BUMN, tentu tidak cukup untuk mengawal sendiri program itu sampai sukses. Kalau tidak dikawal dan kalau ternyata gagal, bisa dikira konsepnya yang salah.
Bahkan, baru bulan lalu saya berhasil bertemu ahli kaliandra dari Institut Pertanian Bogor (IPB) seperti Dr Andi Sukendro. Beliau yang mengajak saya melihat tanaman kaliandra milik Perhutani di Bandung Selatan minggu lalu. Dr Andi membenarkan semua keterangan tentang kaliandra.
Di Bandung Selatan kaliandra hanya difungsikan untuk penghijauan lahan kritis yang terjal. Telat mengetahui pohon asal Meksiko itu tidak membuat saya menyerah.
Belajar memang harus dilakukan terus meski sudah tua sekalipun. Kian saya dalami, kian menarik saja si kaliandra. Saya tidak mungkin tidak tergoda olehnya. Karena itu, action langsung saya siapkan. Jadi menteri atau tidak jadi menteri. Tidak ada pengaruhnya.
Izinkan saya melangkah dengan kaliandra. Semoga, kelak, semua perizinan dari pemerintah bisa lancar. Kalau tidak, saya akan mengadu ke komisi VI. (*)