Kampanye Hitam Ancam Demokrasi Sumsel, Masyarakat Diharapkan Cerdas Pilih Pemimpin
jpnn.com, PALEMBANG - Penyebaran kampanye hitam dan negatif di media massa dan media sosial makin marak jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sumatera Selatan yang akan digelar pada 27 November 2024 mendatang.
Fenomena ini dikhawatirkan akan berdampak negatif pada kualitas proses demokrasi, bahkan berpotensi menimbulkan konflik antar pendukung calon kepala daerah.
Komisioner Bawaslu Sumsel Massuryati Bidang Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat menjelaskan perbedaan mendasar antara kampanye hitam (black campaign) dan kampanye negatif (negative campaign).
Menurutnya, kampanye hitam merupakan strategi tidak etis dan dilarang dalam pemilu karena menyebarkan informasi negatif yang berupa fitnah atau tuduhan palsu, dengan tujuan merusak reputasi seseorang.
Informasi ini biasanya disebarkan oleh sumber anonim dan menggunakan data yang tidak sahih.
“Ini adalah serangan terhadap calon dengan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan,” jelas Massuryati, Selasa (12/11/2024).
Sebaliknya, kampanye negatif lebih menyoroti kelemahan lawan politik dengan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Kampanye ini bertujuan mengungkap rekam jejak yang dinilai buruk, seperti dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi. Namun, masih dalam batas etika yang wajar, " ujar Massuryati.
Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024, penyebaran kampanye hitam dan negatif di media massa dan media sosial makin marak.
- Kewenangan Dewan Pertahanan Nasional Dianggap Berbahaya Bagi Demokrasi dan HAM
- Rampok Berpistol Ditangkap di Musi Rawas, Begini Kronologinya
- MPR RI Berperan Penting jaga Stabilitas Demokrasi di Indonesia
- Demokrasi Digital Tunjuk Titi Anggraini, Meidy Fitranto, dan Emmy Samira Jadi Advisor
- Pilkada Kampar 2024: Yuyun-Edwin Menggugat ke MK
- PDIP Akan Terus Persoalkan Upaya Pembunuhan Demokrasi