Karena Pengawasan MK Diserahkan ke Tuhan
jpnn.com - KPK dapat tangkapan hiu besar. Begitu bunyi pesan singkat berantai di kalangan wartawan, Rabu (2/10) malam. Ya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap tim dari lembaga antirasuah itu.
Mantan politisi Partai Golkar itu dibekuk lantaran diduga menerima suap terkait sengketa Pemilukada Gunung Mas (Kalteng) dan Lebak (Banten) yang ditangani MK. KPK mengantongi bukti uang dollar Singapura, yang jika dirupiahkan jumlahnya hingga Rp3 miliar.
Mengapa hal ini bisa terjadi di lembaga yang selama ini cukup berwibawa itu? Berikut wawancara wartawan koran ini, Soetomo Samsu, dengan Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Prof I Gede Panca Astawa, kemarin (3/10).
Apa yang salah dengan MK? Apakah sistem rekrutmennya sehingga menghasilkan hakim MK yang tidak berintegritas seperti Akil?
Menurut saya tidak ada yang salah dengan sistem rekrutmennya. Sudah bagus, dengan melibatkan DPR, Presiden, dan MA. Mereka ini masing-masing menyodorkan tiga nama, sehingga hakim MK jumlahnya sembilan orang.
Jadi apanya yang salah Prof?
Persoalannya terletak pada keberadaan MK yang steril dari kontrol. Tidak ada institusi yang mengawasi hakim MK. Semula, KY yang mengawasi seluruh hakim, termasuk hakim agung MA dan hakim MK. Tapi kewenangan KY itu dipangkas sendiri oleh MK. KY hanya mengawasi hakim-hakim, di luar hakim MK dan hakim agung MA. Padahal, hakim MK dan hakim MA, juga hakim. Ketika sebuah institusi tidak ada yang mengawasi, ya tinggal menunggu waktu manusia-manusianya menyelewengkan kewenangan.
Lantas siapa yang mesti mengawasi MK? Apakah kewenangan itu harus diserahkan lagi ke KY?