Karena Sukarno tak Mau Mendengar Peringatan Hatta
Hasan Aspahani
IBU Megawati Sukarnoputri yang saya hormati, Anda tentu sangat tahu bahwa Indonesia 2015, amat berbeda dengan Indonesia 1957. Memang, pada tahun itu Anda baru berumur sepuluh tahun, tapi Anda berada di titik pusat segala peristiwa di negeri ini. Anda berada di lingkaran terdekat aktor utama pergulatan politik saat itu. Dengan naluri yang tajam dan kecerdasan politik genetis yang Anda warisi dari Bung Karno, Anda pasti bisa merekam lintasan peristiwa pada saat itu.
Indonesia tahun 1957 adalah tahun di mana Bung Karno mulai membawa Indonesia menyerempet-nyerempet bahaya,vivere pericoloso. Ya, jauh sebelum ia sendiri menyadari itu sehingga istilah itu ia jadikan judul pidatonya pada tahun 1964, Tahun Vivere Pericoloso (Tavip).
Pada tanggal 1 Desember 1956, Bung Hatta mundur. Berakhirlah keharmonisan Dwitunggal Sukarno-Hatta. Rakyat menyesali ini, tapi jurang perbedaan pandangan antara dua bapak bangsa ini semakin mengarai, lebar dan dalam. Hatta mundur tanpa pidato pamit kepada rakyat. Ia setelah itu menjadi rakyat. Ia adalah bagian dari orang biasa yang tak ingin melihat negeri ini hancur.
Orang banyak menyesali tindakan Hatta. Tapi berada di tengah rakyat sebagai rakyat biasa, Hatta tak pernah diam. Dia mengirim surat untuk mengingatkan Bung Karno. Saya ingin mengutip surat beliau kepada Bung Karno, surat bertanggal 12 September 1957.
Berhubung dengan itu ingin saya sebagai seorang saudara memperingatkan, bahwa Saudara dengan cita-cita semacam itu berada dalam jalan yang berbahaya yang akhirnya merugikan Saudara sendiri. Sudahkah Saudara pikirkan, apa akibatnya tindakan seperti itu? Pertama dan yang mudah dipahamkan ialah, bahwa Saudara akan menimbulkan perang saudara dan memecahkan Indonesia, sedangkan Saudara menginginkan persatuan.
Surat Hatta berkaitan dengan rencana Bung Karno beroep doen op het volk en op de minderen van het leger, menarik orang-orang (di daerah bergolak) dan mengurangi tentara. Rencana itu disampaikan Sukarno dalam pertemuan dengan Hatta dan Djuanda di Istana Merdeka.
Djuanda mengeluh bahwa ia tak akan sanggup meneruskan pemerintahan apabila tak tercapai upayanya mengembalikan daerah-daerah bergolak ke dalam saluran hukum.
Sukarno tak mengindahkan nasihat Hatta. Dan apa yang dikhawatirkan Hatta benar-benar terjadi. Pemberontakan terjadi di mana-mana! Indonesia bukan hanya menyerempet bahaya, tapi nyaris hancur, terpecah-belah!
Tentu saja, Ibu Megawati yang saya hormati, Indonesia 1957 berbeda dengan 2015. Tapi, saya - anak negeri ini yang sedang ingin belajar untuk menjadi arif dengan selalu bercermin pada sejarah - ingin mengadukan kecemasan kepada ibu bangsanya. Bukankah Bung Karno mengajari kita untuk Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, sebagaimana judul pidatonya pada tahun 1966?
Maaf, deribu maaf, tentu saja saya bukan Hatta, dan tidak sedang mengingatkan Ibu. Saya justru berharap Ibulah yang pada posisi sekarang menjadi orang yang mengingatkan kami, mengingatkan politisi, mengingatkan presiden kita. Semua peristiwa, semua persoalan bangsa ini pada saat ini, rasanya bisa diselesaikan dengan arif jika kita mau menoleh ke jejak sejarah bangsa ini.
Karena tidak ingin lupa pada sejarah itulah maka saya makin menghormati Anda karena pada masa Anda menjadi Presidenlah lahir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejarah harus mencatat ini, Anda adalah ibu kandung KPK. Betapa harapan membikin negeri ini bersih dari korupsi tumbuh subur sejak saat itu.
Mudah-mudahan bukan karena lupa, jika partai yang Anda pimpin sekarang seakan-akan memimpin gerakan "melumpuhkan" KPK, lembaga yang dicatat dan mencatatkan nama Anda dalam sejarah pemberantasan korupsi di negeri ini. Kesan itu muncul karena kader-kader dan pengurus PDI Perjuanganlah yang menyerang para komisioner KPK. Kalaupun mereka lupa, Ibulah yang harus mengingatkannya. Kita tak mau lagi bermain-main dengan bahaya, karena itu melelahkan kita semua.
Salam.
Jakarta, 29 Januari 2015.
IBU Megawati Sukarnoputri yang saya hormati, Anda tentu sangat tahu bahwa Indonesia 2015, amat berbeda dengan Indonesia 1957. Memang, pada tahun
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Refleksi Akhir Tahun 2024 Tentang Penegakan Hukum di Indonesia
- Darurat Penyelamatan Polri: Respons Terhadap Urgensi Pengembalian Reputasi Negara Akibat Kasus Pemerasan DWP 2024
- Mengenang Thomas Stanford Raffles, Perintis Resident Court Dalam Sistem Juri di Hindia Belanda
- Menolak Lupa!: Pentingnya Pilkada Langsung Dalam Kehidupan Demokrasi Bangsa Indonesia
- Mengkaji Wacana Wadah Tunggal KPK Dalam Pemberantasan Korupsi
- Quo Vadis Putusan MK Soal Kewenangan KPK Dalam Kasus Korupsi TNI: Babak Baru Keterbukaan & Kredibilitas Bidang Militer