Karma Politik Golkar yang Faksional

Karma Politik Golkar yang Faksional
Karma Politik Golkar yang Faksional
SATU "penyakit" partai politik di Indonesia adalah berkecamuknya faksional. Sikap kultural bangsa Indonesia, yang katanya penuh ramah-tamah dan cenderung guyup, tampaknya hanya pelajaran sosiologi yang tak lagi laku dalam praktek, apalagi di panggung politik. "Penyakit" ini bukan khas Golkar, tetapi setidaknya paling anyar kembali diperlihatkan partai yang pernah berkuasa selama lebih 30 tahun di Indonesia itu.

Menyusul usainya Munas Golkar di Pekanbaru, dan tersusunnya pengurus DPP Partai Golkar untuk lima tahun ke depan, mantan kandidat Ketua Umum Partai Golkar Yuddy Chrisnandi mengaku sedang mempertimbangkan untuk keluar dari partai berlambang beringin yang kini dipimpin oleh Aburizal Bakrie tersebut. Bahkan, ia menyebut akan bergabung dengan partai yang lebih punya prospek ke depan. Begitulah kata Yuddy, seperti ditulis JPNN.com, Senin (12/10).

Apa yang sangat dia sesalkan karena Munas tersebut, adalah bahwa ternyata telah menjadi ajang balas dendam Akbar Tandjung terhadap Jusuf Kalla. Mana pula (Munas) tak diawali dengan penyampian visi dan misi para kandidat, suatu hal yang penting untuk mengetahui hendak dibawa kemana Golkar ini ke depan. "Akhirnya Munas terjebak dengan arena balas dendam Akbar Tandjung terhadap Jusuf Kalla," tegas Yuddy.

Apa sebenarnya yang terjadi di tubuh Golkar? Apakah ini semacam "karma politik" yang berulang berkali-kali di tubuh partai beringin ini? "Karma" di sini dalam tanda petik dan tentu tak ada hubungannya dengan karma, maaf, dalam pengertian religi tertentu.

SATU "penyakit" partai politik di Indonesia adalah berkecamuknya faksional. Sikap kultural bangsa Indonesia, yang katanya penuh ramah-tamah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News