Karma Politik Golkar yang Faksional

Karma Politik Golkar yang Faksional
Karma Politik Golkar yang Faksional

Aneh. Hanya karena berseberangan pemikiran, kubu-kubu itu berkelanjutan setelah Munas berakhir. Jika faksi-faksi itu hanya sekadar dinamika partai menjelang Munas, sebetulnya bisa dipahami. Sebutlah, sebagai ikhtiar maksimal dari masing-masing kandidat untuk merebut posisi puncak. Namun mengapa faksi-faksi itu seolah menjadi tujuan, dan bukan sekadar alat untuk mencapai tujuan?

Tak pelak, inilah "karma politik" Golkar yang berbenih dan akhirnya subur setelah era reformasi 1998 silam.

Seperti diketahui, meskipun Golkar tidak ikut "tumbang" bersama rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto, tetapi partai ini telah kehilangan "taji"-nya. Apa yang disebut jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) telah hancur berderai dengan datangnya era reformasi.

Tak heran jika Golkar yang tiba-tiba bebas, tak lagi punya pelindung, sehingga dengan mudah terombang-ambing dan terserah kepada siapa yang diuntungkan oleh iklim dan kepentingan politik yang berkembang.

SATU "penyakit" partai politik di Indonesia adalah berkecamuknya faksional. Sikap kultural bangsa Indonesia, yang katanya penuh ramah-tamah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News