Kartel Minyak Goreng

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kartel Minyak Goreng
Pedagang mengisi minyak goreng ke dalam plastik eceran. Pemerintah mengancam penjual dan pengecer yang menjual minyak goreng di atas harga Rp 14 ribu per liter dengan sanksi pencabutan izin usaha. Foto: Ricardo

Pemerintah tidak bisa menjamin ketersediaan minyak goreng yang menjadi kebutuhan utama rakyat sehari-hari. Pemerintah juga tidak bisa menjamin stabilitas harga supaya bisa dijangkau oleh rakyat.

Para produsen kelapa sawit menjual dengan harga mahal dengan alasan menyesuaikan diri dengan harga pasar dunia.

Karena harga sawit di pasar dunia naik, maka produsen Indonesia ikut menaikkan harga. Dampaknya kemudian harga minyak goreng di dalam negeri ikut naik karena kenaikan harga sawit dunia.

Rakyat kecil pasti bingung dengan logika dagang yang aneh ini. Ketika harga sawit dunia naik seharusnya kenaikan itu bisa mensubsidi biaya produksi minyak goreng dalam negeri, sehingga harganya bisa terjangkau. Para pengusaha sawit itu bukannya memberi subsidi, tetapi malah menaikkan harga di dalam negeri. Di luar negeri untung, di dalam negeri untung. Rakyat yang buntung.

Negara mendapat untung besar dari ekspor batu bara dan kelapa sawit ke pasar dunia, tetapi rakyat tidak merasakan dampak keuntungannya.

Dua industri itu adalah industri yang merusak lingkungan, dan rakyat merasakan dampak buruk dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.

Sudah sangat banyak gerakan organisasi internasional yang mengecam dua jenis industri itu. Batu bara yang mengeksploitasi fosil tidak akan menjadi sumber kekayaan yang bisa dipertahankan terus-menerus. Sumber itu tidak bisa diperbarui dan suatu saat akan habis.

Kelapa sawit juga sama saja. Industri ini membawa kerusakan lingkungan, terutama karena perluasan lahan dilakukan dengan deforestasi, penggundulan hutan.

Negara yang menjadi penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, malah mengalami kelangkaan minyak goreng.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News