Kawin Thinking

Oleh: Dahlan Iskan

Kawin Thinking
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

Pagi itu saya makan oatmeal. Saya bikin sendiri. Tiga sendok oatmeal saya masukkan tepak. Lalu saya tuangi susu satu gelas besar. Saya masukkan microwave. Tiga menit.

Oatmeal-nya masih berenang-renang di susu. Ketika saya sendok lebih banyak susunya dari oatmeal-nya. Masih panas. Enak. Segar. Itulah sarapan saya.

Chris dan John Mohn duduk di seberang meja. Minum kopi. Hanya kopi. Chris yang bikin kopi di mesin kopi. Kopi Gayo, Aceh.

John minum kopi sambil lihat handphone. Serius. Tiba-tiba dia berdiri. Mendekat ke saya: dia menunjukkan salah satu komentar perusuh di Disway bertopik Tawaduk Thinking. Ada tulisan Arab di komentar itu.

"Apakah banyak orang Indonesia yang punya pendapat seperti ini?" tanya John.

Rupanya John tidak hanya suka membaca Disway tetapi juga suka melihat sampai ke komentar perusuh. Tentu sudah yang dalam bahasa Inggris.

Dari situlah awalnya, pagi itu kami diskusi soal critical thinking. Terutama bagaimana mengajarkan critical thinking di sekolah-sekolah Amerika.

Chris lantas memberi contoh bagaimana soal siapa antagonis dan siapa protagonis sudah dibahas di tingkat SMP.

Pelajaran critical thinking dimulai saat guru sudah waktunya bertanya: mengapa begitu. Juga mengapa seperti itu. 'Mengapa' adalah kuncinya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News