Keadilan dalam Kepastian Hukum dan Kepastian Hukum dalam Keadilan
*Oleh : Yusril Ihza Mahendra
jpnn.com - SAYA ingin meluruskan berbagai kesalahapahaman atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Peninjauan Kembali (PK) lebih sekali yang dimohon oleh Antasari Azhar. Yang dimohon oleh Antasari untuk diuji terhadap UUD 1945 adalah norma pasal 268 ayat 3 KUHAP yang mengatur bahwa PK hanya boleh dilakukan sekali saja.
Namun, Antasari tidak menguji pasal-pasal yang substansinya sama yang juga diatur dalam UU lain seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung. Jadi, ruang lingkup permohonan Antasari adalah spesifik hukum acara pidana saja sebagai hukum formil untuk menegakkan hukum pidana materil.
Keterangan sebagai ahli yang saya sampaikan dalam sidang MK pun tegas mengatakan demikian, bahwa permohonan uji terhadap PK itu spesifik hanya untuk pidana. Jadi, ketika permohonan Antasari dikabulkan maka yang boleh PK lebih sekali hanya dalam perkara pidana saja. Untuk perkara lain seperti perkara perdata, tata usaha negara dan lain-lain, PK tetap hanya boleh dilakukan satu kali saja.
Dan yang patut dicatat, yang berhak mengajukan PK hanyalah terpidana, keluarga dan penasehat hukumnya. PK dapat diajukan jika ada novum atau bukti baru yang ditemukan kemudian setelah perkara diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asumsinya, jika sekiranya alat bukti tersebut diungkapkan di persidangan sebelumnya, maka kemungkinan terdakwa akan dibebaskan dari dakwaan.
Selain novum, alasan PK juga didasarkan atas adanya kekhilafan hakim yang nyata dalam memutus perkara pidana tersebut. Atau adanya pertentangan putusan terhadap perkara tersebut dengan perkara yang sama, yang sebelumnya telah diputus inkracht oleh pengadilan.
Jaksa penuntut umum (JPU) juga tidak berhak mengajukan PK. Sebab, filosofi adanya PK adalah untuk melindungi kepentingan terpidana dari ketidakadilan. Namun demikian Jaksa Agung berhak mengajukan PK yang dinamakan "PK demi hukum". Kewenangan ini hanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada jaksa biasa.
PK demi hukum itu hanya boleh digunakan Jaksa Agung semata-mata untuk kepentingan keadilan bagi terpidana. Misalnya, Jaksa Agung menemukan novum bahwa terpidana bukanlah pelaku kejahatan, tapi orang lain, sementara terpidana sudah dihukum. Dalam keadaan demikian, Jaksa Agung dapat berinisiatif mengajukan PK untuk membebaskan terpidana yang salah dakwa tersebut.
Namun, Jaksa Agung tidak boleh mengajukan PK demi hukum dengan tujuan untuk memperberat hukuman orang yang sudah dipidana. Jaksa Agung juga tidak boleh mengajukan PK untuk menghukum terdakwa yang dibebaskan oleh pengadilan karena dakwaan tidak terbukti dan sudah inkracht.
SAYA ingin meluruskan berbagai kesalahapahaman atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Peninjauan Kembali (PK) lebih sekali yang dimohon oleh
- Migrants Day 2024, Menakar Urgensi Pendidikan Tinggi bagi Pekerja Migran Indonesia
- Sidang Adat di Balai Panjang Tanah Periuk Jambi Selalu Terjaga hingga Kini
- Catatan Politik Senayan: Penegakan Hukum yang Tidak Melecehkan Rasa Keadilan
- Bantu Rakyat ala Helmi Hasan
- Mengurai Solusi Kekerasan Seksual Anak
- Brengkes Ikan, Cara Perempuan Menyangga Kebudayaan