Kebijakan Perdagangan Karbon Indonesia di COP 29 Dinilai Bermasalah

Menurut kajian lembaga tersebut, potensi penerimaan pajak karbon dari sektor energi dapat mencapai Rp 23,6 triliun pada 2025, jauh lebih besar daripada hasil perdagangan karbon. Pajak ini juga dinilai lebih efektif untuk mendorong perusahaan mengadopsi teknologi ramah lingkungan.
Selain itu, pemerintah diharapkan menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru dan memensiunkan PLTU berbasis fosil secara bertahap.
Menurut Beyrra Triasdian, pengampanye energi terbarukan Trend Asia, mekanisme non-pasar seperti pemulihan ekosistem hutan jauh lebih efektif untuk mengatasi krisis iklim daripada mekanisme perdagangan karbon yang rawan praktik greenwashing.
“Perdagangan karbon hanya menciptakan keuntungan bagi korporasi besar, sementara masyarakat lokal dan lingkungan tetap menjadi korban. Solusi nyata adalah mendorong energi terbarukan, memulihkan hutan, dan melindungi masyarakat adat,” pungkas Beyrra.
Dia menambahkan, pemerintah harus mengedepankan kebijakan berkeadilan untuk melindungi ekosistem dan komunitas rentan. (jlo/jpnn)
Kebijakan perdagangan karbon yang diusung Pemerintah Indonesia dalam COP 29 dinilai bermasalah.
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh
- Waka MPR dan Dirut BEI Bahas Penguatan Regulasi Perdagangan Karbon di Indonesia
- Menhut: Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan Segera Diresmikan
- Temui Menteri Rosan, Waka MPR Dorong Regulasi CCS yang Progresif dan Kompetitif
- Pertamina NRE Beber Manfaat Perdagangan Karbon di Forum Ini, Apa Saja? Simak ya
- Bank Mandiri Aktif dalam Perdagangan Karbon Internasional, Dukung Bebas Emisi 2060
- Ini Dukungan Waka MPR Eddy Soeparno untuk Pelaku Usaha Perdagangan Karbon