Kebijakan Pusat yang Tak Pernah Mendengar Suara Daerah

Satu Dekade Otonomi Daerah, Hubungan Pusat-Daerah yang Belum Seiring

Kebijakan Pusat yang Tak Pernah Mendengar Suara Daerah
Kebijakan Pusat yang Tak Pernah Mendengar Suara Daerah
Salah satu penyebabnya, pemerintah tidak partisipatif dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Saat menyusun peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri (permen) sebagai peraturan pelaksana UU, pemerintah sangat jarang meminta pendapat daerah. Karena itu, setelah selesai disusun dan diimplementasikan, banyak ketidaksesuaian dengan kondisi daerah.

Berikutnya, pemerintah masih inkonsisten dalam melaksanakan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah mempersoalkan urusan yang semestinya menjadi kewenangan daerah masih dipegang pemerintah. Misalnya, penyelenggaraan urusan pertanahan.

Padahal, konflik pertanahan seluruhnya terjadi di daerah. Sangat disayangkan, pada saat yang sama, daerah tidak bisa berbuat banyak untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Inkonsistensi lain, pengelolaan sekolah-sekolah pemerintah berbasis agama masih di bawah kendali pemerintah. Padahal, dampak sekolah-sekolah itu setidaknya memengaruhi laju indeks pembangunan manusia (IPM) daerah. Ironisnya, daerah tidak bisa sepenuhnya mengambangkan lembaga tersebut karena pengelolaannya berada di bawah instansi vertikal.

Selain itu, pemerintah justru mengeluarkan regulasi keuangan yang membelenggu daerah dalam berotonomi. Daerah menjadi takut berinovasi. Kepala daerah dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) ragu-ragu bahkan tidak berani melakukan terobosan untuk memajukan daerah karena terbentur regulasi keuangan yang membatasi item-item pengeluaran atau belanja.

OTONOMI daerah sudah berjalan sepuluh tahun. Namun, hubungan pusat dengan daerah masih tak seiring. Studi The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News