Kebijakan Pusat yang Tak Pernah Mendengar Suara Daerah

Satu Dekade Otonomi Daerah, Hubungan Pusat-Daerah yang Belum Seiring

Kebijakan Pusat yang Tak Pernah Mendengar Suara Daerah
Kebijakan Pusat yang Tak Pernah Mendengar Suara Daerah

Kebijakan otonomi daerah ternyata juga belum ditunjang sistem administrasi terdesentralisasi. Untuk urusan-urusan administratif, pemerintah kabupaten dan kota masih harus langsung mengurusnya ke Jakarta. Padahal, di daerah ada provinsi sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Dengan kata lain, provinsi belum difungsikan dengan baik sebagai wakil pemerintah di daerah.

Terakhir, adanya penguasaan lahan di daerah oleh instansi vertikal. Daerah sulit mengembangkan wilayah karena sebagian wilayahnya berada di bawah penguasaan instansi vertikal atau BUMN. Contoh yang paling sering disebut adalah penguasaan lahan oleh Perhutani.

Implikasinya, daerah tidak bisa mengembangkan kawasan-kawasan yang kaya potensi sumber daya alam dan memberikan dampak pada kemajuan perekonomian daerah. Kabupaten Malang, Jember, dan Banyuwangi merupakan contoh daerah yang menghadapi situasi itu. Saat ingin mendorong kemajuan ekonomi di wilayahnya, daerah mengalami hambatan karena lokasi-lokasi investasi berada di wilayah Perhutani. Selain itu, daerah tidak bisa memaksimalkan potensi laut yang dimiliki karena berada di lokasi yang sama.

Kewenangan pemerintah atas sebagian wilayah di daerah juga terkait dengan pengelolaan jalan negara. Daerah merasakan dampak langsung dari kurang baiknya pengelolaan jalan negara. Dampak sosial dan ekonomi muncul tatkala terjadi keterlambatan perbaikan jalan. Pada waktu yang sama, daerah tidak memiliki kewenangan dan anggaran untuk memperbaiki jalan tersebut. (wawan sobari/JPIP/c5)

OTONOMI daerah sudah berjalan sepuluh tahun. Namun, hubungan pusat dengan daerah masih tak seiring. Studi The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News