Kebijakan Tarif EBT Bisa Ulangi Kesahan Masa Lalu
’’Yang 3-4 tahun akan datang, atau saat ini? Kalau sekarang, berarti dihitung dari pembangkit yang dibangun sekitar 5-10 tahun lalu, sudah pasti biayanya lebih rendah,’’ tandasnya.
Surya juga menyesalkan kenapa EBT yang harus dipangkas sehingga terkesan dianaktirikan. Padahal, porsi EBT dalam sumber energi pembangkit masih sangat kecil.
Pembatasan itu tentu bertolak belakang dengan yang diberlakukan negara lain. ‘’EBT dapat insentif, perhatian khusus,’’ katanya.
Terpisah, pengamat energi Iwa Garniwa menambahkan, penurunan harga tarif listrik berbasis EBTakan membuat investor kembali menghitung skala keekonomian. Bisa saja investor batal menanamkan modalnya di Indonesia. Sangat disayangkan karena minat investor di sector EBT selama dua tahun terakhir membaik.
’’Minat energi terbarukan cukup tinggi. Tetapi, dengan harga seperti itu minat bisa turun lagi. Kalau mau mengandalkan swasta, mana ada yang mau,” jelas Iwa.
Menurutnya, pemerintah harusnya mengobral insentif secara bertahap dan berkala. Adanya subsidi supaya perlahan bisa berkembang disebutnya cara terbaik.
Direktur Operasi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Ali Mundakir sempat mengatakan, dari alokasi subsidi listrik sebesar Rp 41 triliun pada 2017, porsi PLTP hanya lima persen. Jumlah itu, tidak lebih dari Rp 2,05 triliun. Kalau ada penurunan subsidi, seharusnya yang Rp 39,95 triliun.(dim)
Langkah Menteri ESDM Ignasius Jonan yang mencabut subsidi tarif energi baru terbarukan (EBT) justru mengundang kritik. Sebab, keputusan mantan menteri
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Mau Berubah?
- 5 Langkah Utama untuk Capai Emisi Net Zero di Sektor Tenaga Listrik
- Prabowo: Indonesia Dukung Energi Terbarukan & Pengurangan Emisi Karbon
- Dukung Transisi Energi Berkelanjutan, Pertamina Genjot Kapasitas Pembangkit Panas Bumi
- Penuhi Kebutuhan Pasokan Listrik, PLN Indonesia Power Lakukan Berbagai Transformasi
- IESR Sebut IPO Menjadi Salah Satu Opsi Pendanaan Energi Terbarukan Melalui Bursa Efek