Kedudukan Putusan MK Dalam Pembahasan RUU Tentang Pilkada
Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH - Anggota Komisi III DPR RI/Fraksi PDI-Perjuangan
Pada kenyataannya, hal ini menimbulkan permasalahan bagi pihak yang berkepentingan atau dalam hal ini dalam lingkaran kekuasaan. Polemik terjadi dalam hal pencalonan Gubernur DKI Jakarta, oleh partai diluar Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang ada di DPRD DKI Jakarta, yang pada saat itu belum cukup mencapai ambang batas.
Dengan adanya putusan MK, terbukalah peluang beberapa calon gubernur untuk dapat dicalonkan dari partai yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta di luar KIM. Harapan muncul untuk mendudukan seorang calon gubernur sebagai lawan dari koalisi besar yang tadinya hanya sebagai calon tunggal atau melawan kotak kosong.
Akan tetapi anehnya, DPR kemudian malah merespon dengan sangat cepat dalam melanjutkan pembahasan terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Hal ini boleh dianggap biasa saja, jikalau isi pasalnya tidak bertentangan dengan Putusan MK. Namun tidak jika isinya justru kontroversial.
Dalam perjalanan pembahasannya, kemudian diketahui oleh publik bahwa prosedur dan substansinya berpotensi bermasalah. Padahal selama ini DPR, Pemerintah, maupun seluruh pihak selalu menghormati Putusan MK karena dianggap sebagai “wakil” dari Konstitusi, apalagi putusannya bersifat final dan mengikat.
Selain itu, pasca putusan MK, DPR dan Pemerintah kini seharusnya sudah lebih berhati-hati. Dalam hal ini, kita selanjutnya dapat bertanya menganalisa lebih jauh terhadap pelaksanaan asas kepatuhan dan kepatutan (due process of law) ini dari implikasi Putusan MK ini. Apa yang menjadi penyebab dari polemik ini.
Pengujian Undang-Undang di MK telah diatur dalam UUD NRI 1945, pengujian konstitusionalitas ini merupakan sebuah ujian undang-undang terhadap kesesuaiannya dengan UUD. Hal ini telah diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan merupakan kewenangan MK. Dalam pasal tersebut, MK mengadili di tingkat pertama dan akhir serta putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).
Ketentuan ini kemudian juga dijabarkan dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020) dan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022).
Ketentuan tersebut mengatur bahwa Putusan MK sebagai putusan peradilan merupakan sumber hukum.
Seluruh mata tertuju pada DPR yang sedang melakukan pembahasan terhadap RUU Pilkada.
- Ribuan Peserta Hadiri Kampanye Akbar Paslon Sendi-Melli
- Pertebal Dukungan ke Luluk-Lukman, Sukarelawan Cantiq Surabaya Gelar Konvoi
- Pilgub Kalteng: Agustiar-Edy Merajai Survei Elektabilitas
- Tim Relawan Dozer Sebut Sulsel Butuh Pemimpin Berpengalaman
- Hari Terakhir Kampanye, Khofifah Tegaskan Jatim Gerbang Baru Nusantara untuk Rakyat
- Survei Terbaru, Nurhidayah-Imam Kafali Unggul di Pilbup Lombok Barat