Kegeraman Pak Harto di Lubang Buaya, lalu Beda Paham dengan Bung Karno

Kegeraman Pak Harto di Lubang Buaya, lalu Beda Paham dengan Bung Karno
Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Monumen tersebut merupakan penanda tentang peristiwa G30S/PKI. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengangkatan tujuh jenazah perwira TNI AD korban keganasan Gerakan 30 September (G30S) dari sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 4 Oktober 1965 begitu membekas bagi Presiden Kedua RI Soeharto.

Pak Harto -panggilan kondangnya- yang pada waktu itu berpangkat mayjen dan menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) melihat langsung proses evakuasi tujuh jasad enam perwira tinggi dan satu perwira pertama TNI AD tersebut.

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Letkol Untung Syamsuti selaku komandan G30S menggerakkan pasukan Tjakrabirawa untuk menculik Letjen A Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Brigjen DI Pandjaitan, Brigjen Soetoyo Siswomihardjo.

Jenderal Abdul Haris Nasution juga menjadi target penculikan. Namun, menteri pertahanan cum Kepala Staf Angkatan Bersenjata itu berhasil lolos.

Adapun Piere A Tendean yang saat itu bertugas sebagai ajudan Pak Nas -panggilan Jenderal AH Nasution- ikut diculik.

Tentara berpangkat letnat satu itu bertindak berani dengan mengaku sebagai Nasution di hadapan para penculik.

Gerombolan penculik itu membawa culikannya ke kawasan Lubang Buaya di sekitar Lanud Hakim Perdanakusuma.

Selanjutnya, enam perwira tinggi TNI dan Lettu Pierre Tendean dibunuh. Tubuh mereka dimasukkan ke dalam sumur kering.

Setelah menyaksikan pengangkatan jenazah di Lubang Buaya, Soeharto langsung memprioritaskan penumpasan PKI di Jakarta maupun daerah lain.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News