Kejaksaan Dalami Kebijakan Impor Garam Kemenperin Era Airlangga

jpnn.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menaikkan kuota impor garam demi mengeruk keuntungan pribadi.
Kejagung kin tengah menyidik kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas impor garam industri pada tahun 2016-2022.
Pada 2016-2019, Kemenperin dipimpin Airlangga Hartarto. Ketua Umum Partai Golkar itu kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Sementara sejak 2019 hingga kini, Kemenperin dipimpin oleh Agus Gumiwang Kartasasmita.
"Diduga dalam menentukan kuota impor yang berlebihan dan tanpa memperhatikan kebutuhan riil garam industri nasional, terdapat unsur kesengajaan yang dilakukan oleh oknum untuk mendapatkan keuntungan pribadi," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana.
Ketut menyampaikan, dugaan tersebut didapat usai pihaknya memeriksa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Susi diperiksa sebagai saksi dan dicecar tim penyidik sebanyak 43 pertanyaan.
"Saksi (Susi) memiliki kewenangan untuk mengeluarkan rekomendasi dan penentuan alokasi kuota impor garam," tuturnya.
Ketut menjelaskan, berdasarkan hasil kajian teknis Kementerian Kelautan dan Perikanan, Susi mengeluarkan kuota garam sebesar kurang lebih 1,8 juta ton.
Salah satu pertimbangan dalam pemberian dan pembatasan impor tersebut adalah untuk menjaga kecukupan garam industri dan menjaga nilai jual garam lokal.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menaikkan kuota impor garam demi mengeruk keuntungan pribadi
- Wamenperin: Tidak akan Ada PHK di Sektor yang Berhubungan dengan Pertanian
- Luhut dan Airlangga Bentuk Tim Khusus untuk Sikat Penghambat Investasi
- Kejagung Lagi Digdaya, Potensial Dijadikan Musuh Bersama
- Komite Nasional Perempuan Menyoroti Kinerja Kejaksaan Agung
- Pemerintah Akhirnya Rilis Sertifikat TKDN iPhone 16, Apple Sudah Bisa Jualan
- Airlangga Dorong Penguatan Investasi Prancis di RI Melalui Percepatan I-EU CEPA & Aksesi OECD