Kelong Bay
Oleh: Dahlan Iskan
Di setiap lokasi itu kelongnya tidak hanya satu. Benar-benar banyak pilihan. Atau justru bingung
Kelong –Anda sudah tahu– adalah bahasa Melayu untuk restoran yang terapung di atas laut. Di dekat pantai.
Saya berterima kasih pada Sulfika Saputra yang membawa saya ke Tanjung Piayau. Kelongnya relatif baru. Di sisi kiri kelong terdapat kolam-kolam kecil. Kolam apung. Ikan yang mau dimakan dipelihara di situ. Ikan hidup. Ikan segar. Sambil menunggu makanan bisa lihat-lihat kolam.
Di kelong ini juga tidak silau. Di seberang kelong ada satu pulau panjang. Pandangan tidak sampai ke laut lepas yang menyilaukan. Pulaunya kosong. Tanpa penduduk. Penuh dengan tanaman hijau. Sejuk dilihat sambil makan.
Saya salah order. Salah lihat gambar makanan. Salah perkiraan ukuran menu. Saya pesan gonggong tiga porsi. Campur udang, kepiting rajungan, cumi-cumi, dan kerang. Pas. Untuk sepuluh orang satu meja.
Ternyata satu porsi saja cukup untuk 10 orang. Makanan itu tidak ditaruh di piring atau panci. Gonggong itu ditaruh di satu baki besar: 25 x 50 cm. Dalamnya 10 cm. Penuh. Kuahnya juga banyak. Uapnya masih mengepul. Makanan panas.
Saya membagi nasi dari satu tanak besar ke piring-piring 10 orang. Saya juga keduk bak itu untuk mencari gonggongnya. Saya bagikan ke mereka. Dengan cara sibuk seperti itu saya sudah bisa kenyang menghirup aromanya
.
Saya pun merasa sukses: tidak tergoda makan gonggong satu pun. Saya sudah kenyang gonggong di masa lalu. Sudah tahu rasanya. Sudah tahu pula resikonya.
Siang itu saya sukses pula tidak makan kepiting. Pun tidak makan udang dan kerang.