Kelong Bay

Oleh: Dahlan Iskan

Kelong Bay
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya pilih makan ikan goreng Hongkong. Dan sayur kangkung. Saya ambil agak banyak ikan itu. Lalu saya kembalikan sebagiannya: ikan ini kan digoreng, berminyak. Kangkungnya pun saya kembalikan separo: masaknya terlalu berminyak.

Diam-diam saya berhasil melakukan ajaran kuno: berhentilah makan sebelum kenyang. Saya sudah tidak sukses sehari sebelumnya dan tidak akan sukses pula sehari sesudahnya.

Sukses siang itu lebih karena terbayang roti canai. Di Martabak Har. Sebelum krismon dulu saya sempat punya hotel di dekat situ. Setelah krismon setidaknya saya masih ke roti canai.

Kenangan saya pada Har lebih membekas daripada memiliki hotel. Saya pernah diajak ke pedalaman Thailand naik pesawat pribadi. Pulangnya tiba-tiba mampir mendarat di Batam.

Kami ke roti canai itu –membawa pula bungkusannya. Selesai makan balik ke bandara, terbang ke Jakarta. Ternyata tidak hanya saya seorang yang terobsesi roti canai Har.

Di canai saya merasa setengah sukses: yakni pakai kuah gulainya sedikit. Juga sukses tanpa daging. Caranya: roti chennay itu saya robek sedikit, saya celupkan tipis-tipis ke kuah gulai, masuk mulut. Sukses. Kuahnya sedikit. Tanpa daging. Tetapi tidak sukses karena jumlah lembaran canainya.

Yang total gagal adalah saat ke kedai durian. Harus membanding-bandingkan mana yang lebih enak: musanking atau tembaga.

Mula-mula makan musangking. Lalu makan tembaga. Ketika hendak membandingkan, agak lupa seperti apa rasa musangking tadi. Maka kembali merasakan musangking. Saking asyiknya lupa pula seperti apa rasa tembaga tadi. Jadinya harus makan tembaga lagi. Berulang dan berulang.

BEGITU sulit menyusun acara kuliner di Batam, apalagi hanya satu hari. Terlalu banyak yang akan dimakan. Terlalu kecil ruang di perut yang tersedia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News