Kenaikan Harga BBM Jadi Pil Pahit Bagi Kesehatan Fiskal Negara
jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M Kholid Syeirazi menuturkan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi merupakan pil pahit, yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara.
Kholid menilai masyakarat, khususnya mahasiswa masih terjebak pada opini populis dalam menyikapi kenaikan harga BBM.
Sehingga cenderung mengabaikan fakta obyektif kondisi keuangan negara, nilai tukar rupiah, dan krisis energi global.
Faktanya, konflik antara Rusia dan Ukraina telah membuat produksi dan pasokan minyak mentah dari kedua negara terhambat, sehingga terjadi kenaikan harga minyak dunia.
Harga minyak dunia sempat mencapai USD 140 per barel, sedangkan asumsi ICP (Indonesian Crude Price), yang menjadi patokan APBN adalah USD 105 per barel.
Tak pelak, harga keekonomian BBM di dalam negeri pun mengalami kenaikan.
Dengan asumsi ICP di USD 105 per barel saja, kata Kholid, harga keekonomian BBM jenis Pertalite mencapai Rp 14.000,- per liter.
Jika harga Pertalite tidak dinaikkan dan tetap diangka Rp 7.650,- per liter, maka ada sejumlah Rp 6.350,- per liter yang harus disubsidi pemerintah.
Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi merupakan pil pahit, yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara.
- Jaga Pelayanan BBM, Pertamina Patra Niaga Tindak Tegas SPBU Nakal di Yogyakarta
- Wujudkan Efisiensi & GCG dalam Penggunaan BBM Subsidi di Perkeretaapian, KAI Gandeng BPH Migas
- Fuel-Marking SICPA Solusi Efektif Deteksi Kebocoran dalam Bisnis BBM
- Polda Maluku Ciduk Dua Tersangka Kasus Penimbunan 3,4 Ton BBM di Ambon
- Ipda Rudy Soik Pengungkap Kasus Mafia BBM Dipecat, Ini Penjelasan Polda NTT
- Kalau Bisa Jangan Menunda, Pemerintah Harus Menghapus Wacana Pembatasan BBM Subsidi