Kepemimpinan Perempuan Indonesia di Sektor Publik dan Privat

Kepemimpinan Perempuan Indonesia di Sektor Publik dan Privat
Gusti Kanjeng Ratu Hayu. Foto: dokumentasi FISIPOL UGM

Data UN Women menunjukkan, di level global, 40 persen perempuan yang bekerja di sektor formal terdampak selama masa pandemi. Sedangkan 60 persen dari total pekerja perempuan dari sektor informal kehilangan pekerjaan.

Sementara itu, studi McKinsey menyebutkan, pekerja perempuan 1,8 kali lebih rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dibandingkan laki-laki.

"Hal ini karena posisi mereka dalam pekerjaan dianggap tidak terlalu strategis sehingga perusahaan lebih cenderung melepaskan pekerja perempuan. Padahal, sebagian dari mereka adalah tulang punggung keluarga," ujar Elvira.

Meski demikian, Elvira optimistis, ada solusi untuk berbagai tantangan yang dihadapi perempuan dalam dunia profesional. Dia menekankan, yang terpenting adalah memulai dari diri sendiri. Perempuan harus memiliki the right mindset atau pola pikir yang tepat dalam melihat situasi.

"Dalam dunia profesional, kita pasti menemukan situasi bias gender. Tetapi, situasi ini juga memicu saya untuk mematahkan stigma tersebut. Bagaimana caranya? Bekerja giat dan menunjukkannya melalui pencapaian dan kontribusi saya, tidak hanya untuk perusahaan tetapi juga masyarakat sekitar," papar Elvira.

Dengan pembuktian ini, dia yakin kemampuan perempuan akan dipandang dan bias gender akan luruh dengan sendirinya. Ia juga menekankan pentingnya etos kerja, bekerja keras, dan bekerja cerdas.

"Kerja keras baik, tetapi akan lebih maksimal jika kita juga bekerja cerdas," kata dia.

Hal inilah yang diterapkan Elvira dalam menjalankan tugasnya sebagai salah satu pemimpin perempuan di perusahaannya.

April menjadi momentum untuk menilik kembali peran perempuan di segala sektor. Setiap tanggal 21, menjadi momentum peringatan Hari Kartini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News