Keramat Sendang Mbah Meyek: Pelarian Putri Tak Mulus, Terkepung, Petir Menyambar

Keramat Sendang Mbah Meyek: Pelarian Putri Tak Mulus, Terkepung, Petir Menyambar
Warga Kampung Bibis Kulon RT 005 RW 007, Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari membersihkan kawasan Sendang Mbah Meyek. Foto: DAMIANUS BRAM/RADAR SOLO

"Warga sekadar bersih-bersih di sendang. Yang penting itu niatnya walau tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya, makna upacara adat tetap bisa tercapai," ujarnya.

Baginya, melestarikan tradisi leluhur bukan hanya melalui serangkaian acara besar saja. Secara sederhana pun, asal maksud dan tujuannya sama, tidak menjadi persoalan.

Cerita yang berkembang di masyarakat, keberadaan Sendang Mbah Meyek bermula dari kisah seorang putri dari Kerajaan Pajang bernama Dyah Sri Widyawatiningrum.

Putri tersebut terusir dari istana karena dituduh serong.

Sang putri akhirnya meninggalkan kerajaan bersama ibunya.

Rute pelariannya menggunakan sebuah getek (perahu dari bambu) untuk melintasi Kali Pepe.

Pelarian itu tidaklah mulus. Mereka dikepung prajurit kerajaan. Hingga akhirnya keduanya diselamatkan oleh sambaran petir yang menghancurkan getek sekaligus menghalau pasukan.

Getek itu pun rusak. Dalam istilah Jawa biasanya disebut meyek atau meyek-meyek. Dari sanalah penamaaan Mbah Meyek muncul.

Keberadaan Sendang Mbah Meyek berawal dari cerita tentang Dyah Sri Widyawatiningrum.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News