Kertas Mati

Oleh: Dahlan Iskan

Kertas Mati
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Pusingnya tidak hilang. Hanya pindah: pabrik kertas itu sering berhenti. Pusingnya tuh di sini: listrik PLN begitu sering mati. Byar-pet. Kena giliran. Atau mati sendiri.

Kalau hujan mati. Angin kencang mati, padahal pabrik sebesar itu tidak boleh berhenti-berhenti.

Maka, kelak, dua tahun kemudian, saya sekolah lagi. Keliling lagi. Mata pelajaran baru lagi: bikin pembangkit listrik. Tidak mau lagi tergantung hanya ke PLN.

Jinjen tidak mau menolong saya. Saya memaklumi alasannya. Masuk akal. Akhirnya penolakan itu telah memaksa saya maju: mendirikan pabrik kertas. Mbak Tutut yang meresmikannya. Bersama Jenderal Hartono.

Saya undang Sulistyo bersaudara, saya lupa apakah mereka datang. Perhatian saya terfokus ke Mbak Tutut yang lagi terang sinarnyi.

Tahun 2013, ketika agak jauh dari Surabaya, saya mendengar: Surya Kertas dalam keadaan sulit. Ia tidak mau minta tolong adiknya. Atau adiknya tidak mau menolong kakaknya.

Kesulitan itu begitu sulit. Surya Kertas dipailitkan orang.

Pailit.

Penolakan itu telah memaksa saya maju: mendirikan pabrik kertas. Mbak Tutut yang meresmikannya. Bersama Jenderal Hartono.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News