Kesalahan Pemerintah, tapi Warga yang Dibebankan
jpnn.com, JAKARTA - Megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) bukan hanya persoalan kerugian negara saja.
Namun, korupsi proyek yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu juga berdampak bagi demokrasi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan, setelah ditelusuri ternyata kasus korupsi e-KTP punya dampak besar dalam kisruh dan sengkarut pemenuhan hak politik warga negara.
"Terutama dalam pilkada serentak 2017 lalu," kata Titi saat Ngobrol Pintar (Ngopi) bertajuk "Korupsi e-KTP dan Dampaknya Bagi Demokrasi Kita" di Jakarta Selatan, Minggu (2/4).
Titi menjelaskan, pada pilkada serentak 2015, tidak ada aturan yang mengharuskan e-KTP sebagai dasar pencalonan dalam pilkada atau masuk daftar pemilih tetap.
Namun, setelah dilakukan beberapa kali revisi hingga terciptanya Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, lahirlah terminologi berulang-ulang soal syarat pilkada yang berkaitan dengan e-KTP.
Titi menjelaskan, setidaknya ada tiga keterkaitan e-KTP dalam pilkada.
Pertama, ketika ingin menjadi calon kepala daerah, salah satu dokumen yang harus dipenuhi adalah e-KTP.
- Seluruh Honorer Database BKN & Tercecer Jadi Peserta Seleksi PPPK 2024, Suket Tak Masalah
- Penjelasan BKN soal Suket Pendaftaran PPPK 2023, Honorer Jangan Salah Kaprah!
- 5 Langkah Mudah Membuat E-KTP Digital, Begini Caranya
- Faskes Terbatas, Calon PPPK Guru Kesulitan Mendapatkan Suket Kesehatan
- NIP PPPK: Biaya Suket Kesehatan di Blitar Jutaan Rupiah, Guru Honorer Pilih Kabupaten Lain
- NIP PPPK Guru Belum Diproses, Honorer Telanjur Bayar Suket Kesehatan Rp 535 Ribu