Kesedihan Bidan yang Kehilangan Empat Pasien Hamil
Rabu, 18 November 2009 – 07:10 WIB
Senang rasanya melihat mereka bisa kembali tertawa riang. Itu berarti traumanya kepada gempa yang banyak merenggut orang-orang dekat dan orang-orang yang mereka sayangi agak mereda. Untuk hilang sama sekali, tampaknya, masih membutuhkan waktu. Kami kemudian melanjutkan perjalanan, melanjutkan membagikan permen dan makanan kecil yang kami bawa. Di mana pun kami berhenti dan membagikan permen pemberian Dani itu, kami selalu menemukan wajah-wajah kecil yang gembira. Kami sendiri tidak menyangka akan bertemu dengan begitu banyak anak. Jadi menyesal juga kami tidak membawa lebih banyak kue dan permen sehingga bisa memberikan kegembiraan kepada lebih banyak anak.
Tak lama setelah permen kami habis, kenikmatan bermobil pun harus terhenti karena jalan di depan kami tampak terlalu lunak untuk dilewati. Indra "pengemudi kami dari harian Padang Ekspres" rada takut untuk melaju, apalagi kami.Saya dan Iyut lantas turun dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, meski hari sedang panas terik. Tetapi, dibanding pada hari ketujuh dulu, kali ini panasnya agak mendingan.
Tak lama berjalan, dua pemuda cilik bersepeda motor yang berlawanan dari arah kami, mendadak berhenti. Ternyata mereka menawarkan diri untuk mengantar kami. Semula kami mengira mereka ojek. Ternyata bukan. Mereka hanya kasihan melihat kami berdua berjalan kaki. Padahal, jalan sampai ke Korong Koto Tinggi sudah bisa dilalui motor, bahkan mobil. Pada hari ketujuh dulu, untuk sampai ke Korong Koto Tinggi yang berjarak sekitar 9 kilometer dari kaki Padang Alai, saya, Iyut, Sukri, dan beberapa teman dari Padang Ekspres, Padangtv, Pos Metro Padang dan bahkan JTV harus berjalan kaki, tanpa payung, tanpa bekal air, ataupun permen.
Dulu, perjalanan sepanjang itu terasa sangat melelahkan karena medannya memang sangat berat dan menakutkan. Tanah sisa longsor, pohon-pohon kelapa dan tiang-tiang listrik yang tumbang masih menutup jalan. Karena itu, kami harus melewati jalan setapak yang gembur dan sewaktu-waktu bisa runtuh. Belum lagi kabel-kabel listrik yang malang melintang, siap menyambar kaki atau leher kita (kalau jalannya agak meleng). Belum lagi sisa jalan aspal yang koyak menganga dan anjlok sampai 40 sentimeter.
Perjalanan kembali ke Gunung Tigo ibarat menyibak kembali lembar buku yang dahulu belum rampung dibaca. Sebab, dalam perjalanan yang kedua, wartawan
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408