Kesedihan Bidan yang Kehilangan Empat Pasien Hamil

Kesedihan Bidan yang Kehilangan Empat Pasien Hamil
Kesedihan Bidan yang Kehilangan Empat Pasien Hamil
Panas mentari yang menyengat itulah tumpuan keberanian kami melangkah saat itu. Andai hari itu mendung, saya dan kawan-kawan pasti tak berani melangkah sampai sejauh itu. Sebab, jika hujan, apalagi agak lebat, atau ada gempa susulan (meski skalanya kecil), bisa dipastikan daerah itu akan longsor lagi. Bila itu terjadi, pasti kami akan terisolasi untuk waktu yang cukup lama. Sebab, sudah tidak mudah lagi menembus daerah itu lewat darat.

Sementara saya dan Iyut asyik berbincang tentang apa saja yang kami lihat, kami temui dan kami alami dalam perjalanan ke Koto Tinggi pada hari ketujuh dulu, sebuah sepeda motor melintas di samping kami. Jarak motor itu dengan saya agak dekat, sehingga saya terkejut dan terpaksa melihat pengemudinya.Betapa terkejutnya saya ketika melihat wanita hamil yang dibonceng sepeda motor itu. Dia ternyata Bidan Wirda dari Korong Koto Tinggi, yang dibonceng suaminya.

?Mau ke atas, Bu" Mari mampir tempat kami. Sudah bisa dilalui mobil kok sekarang," ajak bu bidan yang hamil tua itu.Wanita berumur 35 tahun itu kami temui di sebuah sekolah di Korong Koto Tinggi, yang saya sebutkan tadi. Bangunan di dusun ini relatif banyak yang selamat, termasuk sekolah yang lantas jadi tempat pengungsian warga yang rumahnya hancur, dan posko tim medis RS Petrokimia, Gresik. Daerah yang jaraknya sekitar 9 kilometer dari Korong Patamuan di kaki Padang Alai (tempat yang saya ceritakan di edisi kemarin) ini letaknya sangat tinggi, berbatasan dengan Kabupaten Agam yang juga terkena gempa.

Di sekolah itu tim medis Petro menginap dua malam. Padahal, ketika itu mereka baru pulang dari Dusun Malalak. Mencapai dusun ini juga sangat tidak mudah. Butuh waktu berjam-jam bagi dr Irfan dan timnya yang dari RS Petro untuk mencapai daerah tersebut.  Sekolah itu juga merupakan "terminal" terakhir perjalanan kami ketika itu. Kami memang tak melanjutkan ke korong yang lebih atas, karena medannya baik-baik saja.

Perjalanan kembali ke Gunung Tigo ibarat menyibak kembali lembar buku yang dahulu belum rampung dibaca. Sebab, dalam perjalanan yang kedua, wartawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News