Ketegasan Lincoln, Pelajaran Demokrasi yang Mahal
Bahkan ketika presiden terpilih itu dalam perjalanan menuju tempat pelantikan, seseorang berusaha membunuhnya. Waktu itu perjalanan kereta api dari kampungnya di Illinois ke Washington sudah tiba di Baltimore, tinggal satu jam lagi sampai Washington DC. Untuk keselamatannya, sisa perjalanan itu dilakukan secara rahasia.
Tapi Loncoln tidak gentar. “Saya pilih mati dari pada berkompromi dengan mereka,” ujar Lincoln dalam satu pidato waktu itu.
Separatis di selatan itu dia nilai melanggar konstitusi dan harus dihadapi dengan tegas. Tidak ada negosiasi dan tidak ada kompromi. Maka ketika tentara Confederacy mulai menyerang satu kota perbatasan di wilayah Union (istilah untuk wilayah Amerika yang tidak memisahkan diri), Lincoln mengerahkan pasukan habis-habisan.
Terjadilah perang sipil yang berlarut. Selama empat tahun. Korban luar biasa. Mencapai hampir 1,5 % dari jumlah penduduk. Amerika ternyata pernah menempuh jalan yang begitu mahal untuk mempertahankan kesatuan wilayahnya. “Kalau sekarang, 1,5 persen itu berarti 1,5 juta orang,” ujar ahli sejarah di Indiana yang saya ajak ngobrol bulan lalu.
Di akhir masa jabatannya, popularitas Lincoln benar-benar merosot. Dia sendiri merasa tidak akan terpilih lagi. Sebulan sebelum Pilpres, Lincoln seperti pasrah akan nasibnya, tapi tidak pasrah mengenai sikapnya terhadap para separatis.
Bahkan dia menegaskan akan meningkatkan serangan ke wilayah Confederasi di sisa masa jabatannya yang pendek. Termasuk akan memanfaatkan masa empat bulan antara terpilihnya presiden baru dan pelantikannya). Pokoknya perang harus berakhir sebelum dia secara resmi turun dari Gedung Putih. Dan harus menang.
Peningkatan serangan itu membuat tentara Confederacy kian lemah.
Lincoln ternyata terpilih kembali dengan kemenangan telak. Maka kemenangan tentara Union menjadi kian nyata.