Ketemu Lokasi PLTA Berkelas Emas, Kelelahan Lunas
Jumat, 19 Agustus 2011 – 03:13 WIB
Saya bukan pendaki gunung, tapi saya optimistis bisa melakukan perjalanan ini. Saya pernah jalan kaki dari Makkah ke Arafah sejauh 45 km. Yakni, waktu naik haji. Kembali ke Makkah keesokannya juga berjalan kaki. Hanya, saya sekarang sudah 20 tahun lebih tua. Dan masih berstatus pasien transplantasi hati.
Tentu, kami ingin lebih lama di lereng bukit itu. Kami seperti sedang jatuh cinta dengan tanah Wamena. Apalagi, di lokasi itu, kami bisa berkumpul dengan warga setempat dalam suasana yang santai dan akrab. Dialog pun penuh perhatian serta tawa. Mereka mengerti dengan baik bahasa Indonesia. Hanya, kalau mengajukan pertanyaan, masih merasa nyaman dengan bahasa Wamena. Dengan tulus mereka juga mengingatkan agar kami berhati-hati dalam membangun proyek raksasa ini. Gunung-gunung berbatu yang kelihatannya keras itu pada dasarnya mudah longsor.
Merasakan keakraban itu, saya menyesal seandainya tidak jadi ke pedalaman Papua hanya gara-gara berita media yang menggambarkan rusuhnya wilayah tersebut sehari sebelum saya berangkat dari Jakarta. Banyak sahabat yang mencegah saya berangkat Rabu lalu, tapi feeling saya mengatakan akan baik-baik saja.
Rasa kekeluargaan penduduk pedalaman itu juga sangat menonjol. Setiap berpapasan dengan orang yang sama-sama menggunakan jalan setapak itu, mereka selalu mengajak bersalaman. Salamannya pun sangat kuat. Pertanda ingin menjalin persaudaraan dan kepercayaan. Bahkan, beberapa kali, sambil bersalaman itu, mereka sampai merangkul pundak saya.
HUJAN turun sepanjang malam di Wamena. Sambil makan sahur di pedalaman Papua yang dingin itu, saya mengkhawatirkan gagalnya acara penting keesokan
BERITA TERKAIT