Ketika Garuda Tak Terbang
Jumat, 26 November 2010 – 01:10 WIB
SAYA masih menjadi jurnalis pemula di tahun 1970. Redaktur koran tempat saya bekerja meminta meliput panen nilam di Manduamas, Kecamatan Barus, Sumatera Utara, yang berbatasan dengan Provinsi Aceh. Maklum, harga nilam kala itu melambung, bahkan banyak petani mengalihkan sawah atau kebun para milik mereka dengan tanaman nilam. Mirip konversi sawah ke kebun kelapa sawit dewasa ini. Teknologi memang canggih. Membikin hidup lebih mudah. Semakin efisien dan efektif dengan tujuan yang hendak digapai. Tetapi teknologi yang selalu muncul dengan sistem mutakhir, tetap sajalah dikendalikan manusia yang bisa saja tak mencapai sasaran jika terjadi human error.
Luar biasa. Saya menyaksikan demonstration effect. Petani pesta-pora membeli banyak barang kota. Kemeja, celana, piring dan kompor minyak tanah, dan sebagainya. Yang panennya bagus malah membeli sepeda atau sepeda motor. Mirip petani sawit di Labuhanbatu yang berduyun-duyun membeli mobil pada 1997-1998 silam, ketika rupiah terpuruk Rp 17.500 per dolar. Maklum, harga tandan buah sawit segar (TBS) melejit luar biasa.
Baca Juga:
Tapi, eh, ada petani yang membeli kulkas alias lemari pendingin. Jangan tertawa para pembaca, si kulkas berubah menjadi lemari tempat pakaian, karena listrik belum masuk ke desa itu.
Baca Juga: