Ketika Itu Habibie Menangis
”Mampus! Akhirnya, pesawatnya dipercepat. Pesawat landing persis oksigen habis. Begitu pintu dibuka, ambulans sudah siap membawa kami ke klinik,” kata Habibie.
Berat. Itulah yang dirasakan Habibie saat mengetahui istrinya sakit dan dia harus cepat mengambil tindakan. Habibie bisa saja menangis. Namun, dia kasihan kepada Ainun. Jika dia menangis, Ainun apalagi. ”Saya harus gagah. Tough. Saya lawan perasaan-perasaan itu,” ujarnya.
Pada 24 Maret 2010, Ainun masuk rumah sakit Ludwig Maximilians Universitat, Klinikum Gro’hadern, Muenchen. Dia menjalani 12 kali operasi. Di ruang perawatan, Habibie setia menemani Ainun. Tidak sedetik pun dia meninggalkan Ainun.
”Dua bulan saya enggak mau pergi dari kamarnya. Kalau ada yang berani masuk, saya sentak satu-satu. Profesor doktor terkenal di dunia dimarah-marahin Habibie. Katanya seperti mahasiswa dipelonco,” ujar Habibie.
Pada 22 Mei 2010 pukul 17.30 waktu Muenchen, Ainun meninggal dunia setelah melewati masa kritis selama sehari. Jenazah Ainun dipulangkan ke Indonesia pada 24 Mei 2010 dan tiba di Jakarta pada 25 Mei 2010.
Habibie sudah melakukan yang dia bisa untuk menyelamatkan istrinya. Namun, Tuhan berkehendak lain. (and/c10/ang)
SEMANGAT B.J.Habibie tak pernah kendur. Berbicaralah, lalu tataplah matanya. Maka, siapa pun akan mendapati kobaran api semangat yang menyala-nyala.
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Setahun Badan Karantina Indonesia, Bayi yang Bertekad Meraksasa demi Menjaga Pertahanan Negara
- Rumah Musik Harry Roesli, Tempat Berkesenian Penuh Kenangan yang Akan Berpindah Tangan
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala