Ketika Naga Lagi Menggigit Samurai
Oleh Dahlan Iskan
Menjelang jam makan siang, kamar Guo diketok. Takahashi bertekuk lutut. Dia menyerah. Menerima tawaran Foxconn yang terakhir: USD 3,5 miliar. Turun dari tawaran awal yang USD 6,25 miliar. Atau turun sekitar Rp 40 triliun.
Inilah gertakan senilai Rp 40 triliun. Inilah keuletan seharga Rp 40 triliun. Inilah tidak tidur dengan imbalan Rp 40 triliun.
Takahashi memang menyerah. Tapi bukan karena ngantuk. Harga itu memang masih lebih tinggi daripada tawaran penyelamatan oleh dewa INCJ. Terutama tidak bisa menjamin bahwa tanggungan USD 3 miliar itu tidak berbahaya.
Mengapa pemerintah Jepang tidak all-out dalam menyelamatkan Sharp? Dari tangan asing. Yang akan menguasai saham Sharp sampai 72 persen. Taiwan lagi. Wilayah jajahannya dulu.
Pemerintah Jepang rupanya memang punya agenda tersembunyi: merevolusi mental perusahaan Jepang. Yang selama ini tertutup. Pelit investasi. Kurang mengutamakan pemegang saham.
Pemerintah Jepang ingin memulai persaingan terbuka. Termasuk dalam inovasi. Terutama inovasi jenis bisnis masa depan. Singkatnya, Jepang ingin mulai terbuka pada modal asing. Untuk membuat manajemen Jepang lebih terbiasa dengan iklim persaingan. Persainganlah yang bisa membuat orang lebih inovatif.
Korea dianggap lebih inovatif. Musuh besarnya itu.
Saat tulisan ini muncul di koran grup Jawa Pos, saya sedang di Jepang. Ingin ke Fukushima. Dan ke Fujioka. Bukan untuk membatalkan drama Sharp-Foxconn itu. Tentu saja.