Ketum PEDPHI Sebut DKPP Tak Berikan Iktikad Baik Atas Putusan terhadap KPU

Ketum PEDPHI Sebut DKPP Tak Berikan Iktikad Baik Atas Putusan terhadap KPU
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito (tengah) didampingi anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (kiri) membacakan vonis terhadap Ketua KPU Hasyim Asy'ari terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Bakal Calon Wakil Presiden dalam sidang putusan di DKPP, Jakarta, Senin (5/2/2024). Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra/rwa.

DKPP juga tidak cermat membaca ketentuan Pasal 10 ayat (2). Keadaan tertentu sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) adalah berifat alternatif dan kumulatif. Selengkapnya ayat (2) menyatakan:

Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. perubahan Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemilu dan/atau Pemilihan;
b. perubahan atau pencabutan peraturan perundang-undangan;
c. pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung;
d. hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Peraturan KPU; dan
e. kebutuhan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU.

Sistematika ayat (2) menunjukkan bahwa “huruf a” sampai dengan “huruf d” bersifat alternatif tergantung yang menjadi sebabnya. Namun juga harus dikumulasikan dengan “huruf e.” Terbaca dengan jelas pada “huruf d” terdapat kata penghubung “dan” yang menunjuk pada “huruf e”, yakni “kebutuhan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU”.

Sepanjang KPU menganggap tidak ada relevansinya dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU, maka sesuai dengan penilaian KPU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadikan Rancangan Peraturan KPU tidak bersifat fakultatif.

Selain itu, rumusan Pasal 10 apabila dikaitkan dengan menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak tepat. Selain DPR, maka KPU juga tidak ada kewajiban melakukan revisi sebagaimana dimaksudkan. Lebih dari itu, rumusan Pasal 10 tidak secara langsung mengenai rumusan Peraturan KPU.

Hal-hal yang terjadi dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menunjuk adanya persintuhan dan dampak terhadap Peraturan KPU, sehingga ketentuan “huruf e” yakni “kebutuhan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU” menjadi kunci untuk dapat atau tidaknya dilakukan Rancangan Peraturan KPU. Lebih-lebih lagi nomenklatur yang digunakan adalah “Rancangan”, bukan “Perubahan”.

Dalil DKPP sebagaimana diutarakan di atas merupakan penyelundupan hukum. Penyelundupan itu terurai dalam tahap konstatir, kualifisir dan konstituir putusan. Meminjam istilah pidana, sepertinya hal tersebut dilakukan “dengan maksud”, “diketahui” dan “dikehendaki”.

Di sinilah letak rekayasa dan kesesatan terselubung dalam putusan DKPP. Hal ini menjadi cacatan serius, ada apa gerangan dengan DKPP?

Ketum PEDPHI Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H merespons putusan DKPP yang memberikan sanksi peringatan keras kepada komisioner KPU.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News