Ketum PEDPHI Sebut DKPP Tak Berikan Iktikad Baik Atas Putusan terhadap KPU

Ketum PEDPHI Sebut DKPP Tak Berikan Iktikad Baik Atas Putusan terhadap KPU
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito (tengah) didampingi anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (kiri) membacakan vonis terhadap Ketua KPU Hasyim Asy'ari terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Bakal Calon Wakil Presiden dalam sidang putusan di DKPP, Jakarta, Senin (5/2/2024). Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra/rwa.

Kemudian, perlu dipahami menyangkut asas notoire feiten notorious. Asas ini mengatakan bahwa “setiap hal yang sudah menjadi pengetahuan umum” atau “sudah umum diketahui”, maka menurut hukum tidak perlu lagi dibuktikan dalam sidang pengadilan. Postulat demikian telah menjadi kelaziman dalam praktek persidangan, dan disebutkan juga dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP.

Dalam kaitannya dengan perkara a quo, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada intinya membatalkan persyaratan batas usia minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah menjadi “pengetahuan umum”.

Oleh karena itu, tidak ada kewajiban bagi KPU untuk “mendeclare” dengan melakukan perubahan terhadap pasal a quo. Terlebih lagi, kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi adalah sama dan sederajat dengan Undang-Undang (in casu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum).

Menjadi aneh disebutkan bahwa KPU harus melakukan revisi terhadap pasal a quo sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak dilakukan perubahan.

Bagaimana penjelasan logisnya, terhadap PKPU direvisi guna menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi Undang-Undang a quo tetap alias tidak mengalami perubahan.

Apakah dapat dikatakan, KPU yang tidak melakukan revisi, maka demikian itu tidak sesuai dengan Konstitusi atau dengan kata lain tidak menjalankan Konsitusi? lalu bagaimana dengan DPR? Bukankah setiap putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan suatu norma dalam Undang-Undang tidak memerlukan perubahan terhadap norma yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan.

Lalu dimana letak urgensi dan relevansi bahwa PKPU harus dirubah, padahal Undang-Undang saja tidak dirubah. Di sini juga terlihat adanya rekayasa dan kesesatan terselubung dalam pertimbangan hukum putusan DKPP. Semuanya itu dimaksudkan agar terhubung dengan amar putusan yang menjatuhkan sanksi.

Selanjutnya, menyangkut iktikad baik komisioner KPU yang selaras dengan hukum responsif dan hukum progresif. Iktikad baik (bonafides) merupakan a contrario itikad buruk atau niat jahat (mens rea). Iktikad baik menunjuk pada dua pengertian, yakni pertama, iktikad baik dalam pengertian arti subjektif dan kedua, dalam arti objektif. Pada yang tersebut pertama, menunjuk kejujuran dan yang tersebut belakangan menunjuk kepatutan. Marcus Tulius Cicero menyatakan bahwa iktikad baik adalah pondasi keadilan.

Ketum PEDPHI Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H merespons putusan DKPP yang memberikan sanksi peringatan keras kepada komisioner KPU.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News