Kewajiban Freeport Kepada Papua Belum Selesai

Hironimus Hilapok - Direktur Honai Perubahan Papua / Komisaris Independen PT Adhi Karya (Persero) Tbk

Kewajiban Freeport Kepada Papua Belum Selesai
Direktur Honai Perubahan Papua / Komisaris Independen PT Adhi Karya (Persero) Tbk Hironimus Hilapok. Foto: Dokumentasi pribadi

Harga 51 persen saham Freeport dipatok Freeport seharga 5 miliar dolar. Ini tentu harga yang sangat mahal bagi masyarakat awam.

Padahal, Freeport sudah hampir 60 tahun beroperasi di Mimika dengan mendapat keuntungan besar sampai di atas Rp 8.000 triliun.

Sudah mendapat keuntungan besar dari eksploitasi tembaga dan emas di Grasberg, perusahaan Amerika Serikat tersebut juga mendapat untung besar dari pembelian saham.

Sebagai risiko dari pembelian saham Freeport oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten Mimika juga harus ikut membayar saham Freeport, karena dari 51 persen itu, porsi untuk pemerintah daerah Papua sebesar 10 persen.

Itu artinya, pemerintah daerah Papua (Provinsi Papua dan Mimika) wajib membayar 10 persen dengan harga di atas Rp 3 triliun.

Ini menurut saya sesuatu yang sangat mustahil karena keuangan daerah tak sanggup membayar pembelian saham yang sangat mahal.

Pemerintah juga tak pernah berpikir bahwa lahan yang digunakan Freeport untuk mengeksplorasi emas dan tembaga yang membuat perusahaan AS itu kaya adalah lahan milik masyarakat adat (masyarakat Amungme dan Komoro) yang sampai sekarang tak pernah diganti-rugikan oleh Freeport kepada masyarakat adat.

Ini sangat aneh dan ironis. Pemerintah membiarkan Freeport mendapat untung berlipat-lipat bukan hanya dari eksplorasi tambang emas dan tembaga, tetapi juga dari penjualan saham.

Pada tahun 2019, Pemerintah Indonesia di bawah rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) sukses menyelesaikan renegosiasi kontrak dengan PT Freeport Indonesia (PTFI).

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News