Kiai Ahong dari Makam Wali Ningxia
Oleh Dahlan Iskan
Tiga hari saya keliling propinsi itu. Terutama ke gurun pasir Gobi. Untuk meninjau pembangkit listrik tenaga angin. Yang lagi dibangun besar-besaran di gurun pasir itu. Yang satu kincirnya sudah bisa menghasilkan 2 mw.
Dalam perjalanan dua jam berikutnya, saya melintasi desa-desa pertanian Tiongkok. Tapi, perasaan saya seperti melintasi desa-desa di Lombok: begitu banyak masjidnya. Di tiap desa, pasti ada satu atau dua masjid besar. Terlihat dari menara-menara tingginya. Satu masjid umumnya memiliki tiga menara.
Akhirnya, saya tiba di masjid besar Kota Wuzhong. Masih ada waktu setengah jam untuk menemani istri dan teman-teman saya makan siang. Tapi, saya memilih ke masjid lebih awal. Ada zikir tertentu yang harus saya lakukan sebelum jumatan itu.
Tepat pukul 13.00, imam masjid tiba dan duduk di dekat mihrab. Tujuh orang lainnya, yang semua berpakaian persis imam, duduk berjajar di belakangnya. Saya mengembalikan tasbih dan duduk di barisan berikutnya. Masjid di lantai dua itu sudah mulai penuh.
Sang imam berbalik menghadap ke jamaah. Lalu bersama-sama melafalkan salawat nabi. Dibaca dari buku tipis.
Ada dua podium di masjid itu. Yang satu di dekat tempat imam. Bentuknya mirip podium pidato. Satunya dihiasi ukiran.
Tepat pukul 13.30, seorang pengurus tampil ke dekat imam. Membawa dua lidi hio. Seperti di kelenteng. Ujung lidi hio itu dibakar. Lalu, lidi ditancapkan di dupa.
Saat itulah sang imam berdiri menuju podium. Berpidato. Ceramah agama. Dalam bahasa Mandarin. Tanpa assalamualaikum.