King Pele

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

King Pele
Pele (1940-2022). Foto: Paulo Whitaker/Reuters

Di tengah masyarakat Brasil yang mayoritas Katolik, Pele dianggap punya kualitas ketuhanan. Ada dua dimensi Pele sebagai manusia dan sebagai pesepakbola. Pele ialah manusia biasa, tetapi ketika bermain bola dia menjadi tuhan.

Sebagaimana pesepakbola Amerika Latin pada umumnya Pele lahir di favela, wilayah kumuh yang miskin, di Tres Coracoes.

Sewaktu kecil ia mengalami kesulitan mengeja, seperti umumnya anak miskin yang kurang sekolah. Dia mulai main sepak bola di jalanan dengan telanjang kaki dan dengan bola dari kertas yang dibungkus plastik.

Pada usia 15 tahun dia ditemukan oleh klub Santos, dan sejak itu klubnya langsung berani memproklamasikan bahwa Pele akan menjadi pesepakbola terhebat di dunia. Ramalan itu menjadi kenyataan. Pele menjadi pemain paling hebat di dunia dan menjadi atlet berbayar paling mahal ketika itu.

Timnas Brasil saat itu bertabur bintang. Djalma Santos, Didi, Mario Zagallo, Garrincha, Nilton Santos, dan Orlando. Namun, Pele adalah permata pada ujung mahkota Brasil.

Semua klub besar di seluruh dunia memburu tanda tangannya, Real Madrid, Inter Milan, Juventus, dan Manchester United. Pele bergeming. Ia tetap memilih Santos. Ia berkeliling dunia dengan klubnya untuk membuat pertandingan eksebisi yang selalu menggemparkan.

Pada ujung kariernya di 1975 Pele bermain untuk klub Amerika Cosmos bersama para bintang gaek seperti Franz Beckenbeauer, Johan Cruyff, dan George Best. Pele yang bersahabat dengan Muhammad Ali ingin agar sepak bola berkembang di Amerika Serikat.

Pada 1977 Pele mengumumkan pensiun dari sepak bola dengan pertandingan antara Santos vs Cosmos di Amerika. Hujan turun pada pertandingan selamat tinggal itu. Esok harinya headlines surat kabar berbunyi Langit pun Menangis Melepas Pele.

Ketika itu belum ada media sosial yang menghasilkan viral, tetapi Pele sudah menjadi viral tiap hari.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News