Kisah 13 Pembaca Alquran Rutan Kelas I Surabaya

Anggap Bukan Penjara, tapi Pondok Pesantren

Kisah 13 Pembaca Alquran Rutan Kelas I Surabaya
NAPI TERPILIH: Tadarus Alquran di Masjid Al Husna Medaeng Senin (14/7). Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos

Nah, lazimnya sang makmum juga menjawab dengan salawat yang sama. Namun, yang terjadi malah mereka mengucapkan, ’Ayo mulih, ayo mulih,’ dengan suara nyaring.

Itulah ungkapan hati para tahanan. Mereka hanya punya satu keinginan. Yaitu, pulang ke rumah.

Ada juga warga binaan yang masih mengantuk, namun memaksa berzikir. Akhirnya, tasbih yang dipegang sampai jatuh. Bacaannya pun salah-salah. Yang awalnya istigfar berubah menjadi salawatan.

Kemudian, di Rutan Medaeng, ada satu istilah terkenal. Yaitu, njebles. Terjemahan bebasnya adalah down alias semangat beribadahnya turun drastis.

’’Jadi, bahasa sini njebles itu, misalnya, sebelum divonis salatnya kenceng. Lha setelah putus, blas nggak salat,” ujar Abdullah, lantas tergelak.

Menurut dia, hal itulah yang menjadi tugas mereka. Karena itu, dalam setiap kultum, mereka selalu mengingatkan agar menjauhi perilaku njebles.

’’Biar vonis, nggak vonis, salatnya harus tetap kenceng. Berapa pun putusannya, itu yang terbaik,” kata Abdullah.

Namun, ada suka. Ada juga dukanya. Dia menuturkan, ada tahanan yang memang sulit berubah. Sebab, mereka menjadikan kejahatan sebagai profesi. Akibatnya, tidak ada rasa penyesalan. Meski begitu, dia tetap mengajak semua penghuni rutan untuk menganggap semuanya sebagai masa lalu.

HIDUP di penjara bukan akhir segalanya. Bagi sebagian orang, menjalani masa hukuman justru bisa membawa kebaikan. Setidaknya, itu dirasakan 13 narapidana

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News