Kisah Haru Pasutri Penyandang Cacat: Berbagi Ilmu dengan Menempuh Perjalanan Laut
“Jika kami naik speedboat lewat Pelabuhan Kotabaru, maka digratiskan. Semua itu berkat kebaikan hati Bapak Sahdan Soamole, Koordinator Lapangan Pelabuhan, dan Lukman Hasim, Ketua Koperasi Pelayaran Pelabuhan. Tapi kalau naik speedboat berarti tidak bisa membawa kendaraan,” tutur pria yang kini berusia 38 tahun itu.
Ketika sedang tak punya uang, terkadang pasangan yang menikah 2010 silam itu tak bisa berangkat ke Sofifi. Pihak sekolah telah mahfum. Namun siswa-siswa mereka sering tak mau menerima alasan tersebut.
“Anak-anak kadang bilang, kalau ibu tidak datang, mereka tidak mau sekolah. Tapi mau bagaimana lagi? Kadang keadaan memang tidak memungkinkan,” ucap Jannah.
Meskipun kondisi mereka sendiri untuk bisa mencapai sekolah sudah cukup memprihatinkan, Risal dan Jannah jauh lebih merasa prihatin pada siswa-siswa mereka. Kebanyakan siswa mereka tinggal jauh dari sekolah yang terletak di Kelurahan Guraping itu. Ada yang tinggal di Oba dan Dodinga yang berjarak puluhan kilometer jauhnya. Sedangkan sekolah tak bisa menyediakan sarana transportasi untuk mengantarjemput mereka.
“Kami berharap sekali sekolah bisa punya bus sekolah agar anak-anak yang tinggalnya jauh bisa dijemput. Terkadang mereka tidak masuk sekolah karena jarak rumah yang terlalu jauh,” ujar ibu berusia 32 tahun itu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Risal membuka les musik di Kelurahan Mangga Dua, sementara istrinya yang berasal dari Medan menerima orderan penjahitan gorden dan florist. Perempuan yang pernah menjadi penyiar radio itu juga pandai membuat cupcake bermacam rasa untuk dijual. Semua keterampilan yang mereka miliki diperoleh secara otodidak. Jannah yang awal membuka usaha jahitan harus meminjam mesin jahit milik orang lain, kini telah memiliki 12 buah mesin jahit. Keterampilan dan alat yang mereka miliki, sebagian besar digunakan untuk mengajari orang lain, terutama para penyandang cacat.
“Ada lima mesin jahit yang telah kita berikan kepada teman-teman lain yang ingin membuka usaha sendiri. Kami menganggap keterampilan yang dimiliki adalah anugerah, sehingga harus kami bagi dengan orang lain,” tutur Jannah.
Orang-orang yang datang untuk belajar membuat keterampilan di rumah Risal dan Jannah diperlakukan layaknya anggota keluarga sendiri. Mereka makan dan minum bersama keluarga Risal. Pasutri in memang bertekad memberdayakan sebanyak mungkin penyandang cacat. Hal tersebut dilakukan melalui pelatihan-pelatihan yang mereka lakukan di rumah. Keduanya juga berencana mendirikan Lembaga Kesejahteraan Sosial.
KONDISI tubuh yang tak sempurna tak menyurutkan niat Risal Assor dan Nurjannah, pasangan suami istri (pasutri) penyandang cacat, untuk berbagi ilmu
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408