Kisah-Kisah Pemilik Resto Khas Indonesia di Berlin (1)

Lodeh Jadi Menu Favorit, Laris Manis saat Musim Dingin

Kisah-Kisah Pemilik Resto Khas Indonesia di Berlin (1)
Ronald Christian. Foto: Diar Chandra/Jawa Pos

Dengan pemasukan rata-rata per bulan mencapai EUR 20 ribu (Rp 300 juta), Tuk Tuk berhasil terus menggelindingkan roda bisnisnya di Berlin. Pendapatan itu lantas dipotong sewa bangunan, gas, air bersih, dan listrik sebesar EUR 8 ribu (Rp 120 juta). Juga gaji pegawai dan pemenuhan bumbu mencapai EUR 6 ribu (Rp 90 juta).

Ronald menceritakan, saat dirinya mengambil alih Tuk Tuk dari pemilik keduanya, Suwido Sarjono, tiga tahun silam, kondisi finansial restoran sedang buruk. Lulusan Teknik Industri Technische Universität (TU) Berlin tersebut menebus Tuk Tuk seharga puluhan ribu euro.

”Saya tidak hanya melihat aspek bisnis dari Tuk Tuk ini ketika membelinya. Tapi juga sisi histori dan cap Indonesia yang melekat di sini. Ada perasaan nggak rela kalau Tuk Tuk ini sampai dibeli bukan orang Indonesia dari tangan Pak Wido (sapaan Suwido Sarjono, Red) sebagai pemilik yang kedua,” papar Ronald.

Pak Wido sebagai second owner menjalankan Tuk Tuk selama 12 tahun. Mulai 2000 sampai 2012. Sedangkan Pak Jan, sapaan Jan Lennard, mengelolanya mulai 1984 sampai 2000.

Sebagai kilas balik, Tuk Tuk didirikan Pak Jan, seorang pria Jerman yang jatuh cinta pada satu desa di tengah Pulau Samosir, Danau Toba, bernama Tuk Tuk. Meski di Thailand dan Laos tuk-tuk adalah angkutan tradisional mesin roda tiga, menurut Ronald, justru ada kesamaan Tuk Tuk versi Indonesia dengan Thailand dan Laos. Sehingga bisa menjaring pengunjung lebih luas. Wisatawan asal Asia Tenggara pun mampir ke warung tersebut untuk menjajal berbagai masakan yang ada.

Lantas apa yang membuat Tuk Tuk itu berbeda dengan restoran Asia Tenggara lainnya? Menurut Ronald, pembedanya adalah cara penyajian. Makanan disajikan secara fresh, baru dimasak ketika ada pemesan. Itulah yang membuat mereka kembali ke Tuk Tuk. Dan menu seperti rendang, gulai ikan, serta nasi rames adalah favorit di Tuk Tuk.

Nah, di tangan Ronald ada beberapa perubahan besar dari segi menu. Ronald yang merupakan pemeluk Islam meniadakan daging babi dan berbagai jenis olahannya di dapur Tuk Tuk. Pergeseran tersebut memang menimbulkan pro dan kontra dari para pelanggan.

Namun, Ronald tak terlalu memusingkan hal itu. Bapak dua anak tersebut sepakat bahwa perubahan memang selalu menimbulkan pro dan kontra. Ada yang mendukung dan menolak. Ronald memang kehilangan banyak pelanggan Jerman. Namun, konsumen asal Turki, Iran, atau Malaysia berdatangan.

Diplomasi kuliner. Demikian para pemilik warung bercita rasa Indonesia mengumpamakan aktivitas mereka di Berlin, Jerman. Dengan menu Nusantara yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News