Kisah Para Istri Kustoro Raharjo setelah 'Lelananging Jagad' Itu Meninggal (1)
Dulu Dengar Wejangan, Kini Ziarah di Kuburan
Minggu, 12 September 2010 – 10:49 WIB
"Memang suasananya lain kalau tidak ada bapak. Sekarang tidak ada lagi yang memberikan wejangan. Kami hanya saling menasihati," ungkap Wisnu. "Bapak duduk di kursi kesayangan, sedangkan yang lain mengelilingi dan mendengarkan dengan saksama," tambahnya sambil menunjuk kursi peninggalan Kustoro.
Dia menambahkan, nasihat-nasihat sang ayah itulah yang membuat makna Lebaran begitu terasa. Wisnu mengatakan, saat ini mereka hanya bisa saling menasihati. Tidak ada yang khusus memberikan wejangan seperti ketika pria yang dipanggil "papah" oleh istri-istri dan anak-anaknya tersebut masih hidup.
Pemuda yang berkuliah di jurusan filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengenang ayahnya sebagai pribadi yang hangat dan lembut dalam mendidik anak-anak. Tapi, soal pekerjaan, sang ayah adalah seorang pekerja keras dan pantang menyerah.
Kustoro adalah kontraktor pengeboran minyak Pertamina sekaligus pengusaha pupuk organik dan jamu kuat pria. Tak heran, karena berbagai kesibukan itu, Kustoro kerap bolak-balik Pemalang-Cirebon. Akhirnya, dia hanya bisa beristirahat 2-3 jam sehari. Ditambah lagi, Kustoro adalah seorang perokok berat. Dalam memori Wisnu, sehari ayahnya menghabiskan dua bungkus rokok.
Itulah yang akhirnya membuat mantan ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kabupaten Pemalang tersebut menyerah terhadap penyakit paru-paru. Meninggalnya Kustoro membuat keluarganya memiliki tradisi anyar ketika Lebaran. Mulai tahun ini, mereka juga nyekar (berziarah) ke makam Kustoro. Tempat peristirahatan terakhir pria yang mahir mendalang dan mengalunkan langgam Jawa itu terletak di makam desa, sekitar 700 meter dari rumah mereka.
Yang juga terasa lain setelah Kustoro tidak ada, mereka tidak bisa bersilaturahmi ke rumah-rumah saudara di luar desa atau berekreasi bareng lagi. Padahal, kala Lebaran, biasanya Kustoro mengajak seluruh istri beserta anak-cucunya berkeliling ke rumah-rumah famili. Untuk mengangkut keluarga berjumlah total 27 orang itu, mereka sampai harus menggunakan empat mobil.
"Pokoknya, waktu itu, kalau ada rumah saudara yang didatangi, saudara itu seperti punya gawe karena saking banyaknya mobil di depan rumahnya," kenang Ina Wiganti, istri kelima Kustoro.
Kekompakan mereka tidak hanya tampak ketika berlebaran. Saat Kustoro mendalang pada wetonnya (hari kelahiran, Red), Sabtu Paing, istri-istrinya ditugasi menjadi sinden. Sedangkan anak-anaknya menjadi niyaga alias penabuh gamelan pada pementasan di pendapa rumah mereka yang luas tersebut. Penduduk desa pun selalu menanti pergelaran wayang itu.
Lebaran tahun ini terasa lain bagi keluarga besar Kustoro Raharjo. Sembilan istri dan 17 anak Kustoro tak bisa lagi mendengarkan wejangan suami dan
BERITA TERKAIT
- Kalah saat Pilkada Pemalang, Vicky Prasetyo: Di Luar Ekspektasi
- Sukarelawan Barisan Luthfi Bergerak Pekalongan Deklarasi Dukung Luthfi-Yasin
- Barisan Relawan Luthfi Bergerak untuk Jawa Tengah Gelar Konsolidasi di Pemalang
- Innalillahi, Kru TV One Mengalami Kecelakaan di Tol Pemalang
- Survei PSI: Mayoritas Anak Muda Pemalang Pilih Mansyur Hidayat
- Ikut Salat Id di Lapangan Gasibu Bandung, Ini Makna Iduladha Bagi Menteri Suharso